Oleh: Ady C. Effendy
JUMAT dini hari ini dunia internasional dikejutkan dengan berita upaya kudeta terhadap Erdogan oleh sekelompok faksi dalam militer Turki. Sekelompok faksi dalam militer Turki ini muncul di televisi dan mengklaim telah mengambil alih Negara dan pemerintahan serta mengklaim ingin mengembalikan konstitusi, hak asasi manusia, kebebasan, hokum dan keamanan nasional.
Reaksi internasional terhadap insiden ini adalah dukungan penuh para pemimpin internasional terhadap pemerintah yang dipilih secara demokratis.Tidak kurang Sekretaris Jendral NATO Jens Stoltenberg menyuarakan hal ini.
Begitupula Mantan Presiden Turki Abdullah Gul menyerukan pengkudeta untuk kembali ke barak militernya dan Mantan Perdana Menteri Ahmet Dovutoglu yang baru-baru ini turun dengan lantang menyatakan bahwa “Turki adalah Demokrasi!”
Beberapa jam setelah pengumuman kudeta, Erdogan menyerukan rakyat turun ke jalan dan menolak kudeta. Ia pun kembali ke bandara Istanbul sementara menyatakan bahwa ia tidak akan pergi melainkan bertahan serta akan menghukum faksi pengkudeta tersebut. Pasukan khusus dan kepolisian Turki pun bergerak melumpuhkan faksi pelancar kudeta tercela ini. Kudeta tampak menemui kegagalannya. Perdana Menteri Binali Yildirim pun mengumumkan di televisi bahwa kudeta berhasil dipadamkan.
Sejarah Kudeta Turki
Sejarah modern Turki memang diwarnai dengan rangkaian kudeta. Tercatat kudeta telah dilakukan sejak tahun 1960, 1971, 1980, dan terakhir 1997.
Tahun 1960 kudeta dilancarkan terhadap perdana menteri Adnan Menderes dan Presiden Celar Bayar atas tuduhan melonggarkan aturan konstitusi ala Ataturk yang anti terhadap agama. Keduanya membolehkan dibukanya ribuan masjid, mengizinkan adzan dan membuka sekolah-sekolah bagi juru agama.
Militer akhirnya turun pada 27 Mei mengambil alih dan Menderes pun dieksekusi. Tahun 1971 dan 1980 kudeta dilancarkan atas alasan resesi dan stagnansi ekonomi, militer kudeta pun menangkapi ratusan ribu orang dan mengeksekusi belasan orang.
Tahun 1997 kembali isu agama menjadi unsur pemicu kudeta oleh militer. Partai Refah menang telak dalam pemilu 1995 dan Necmettin Erbakan memimpin pemerintahan koalisi. Militer mengkudeta dan memaksa Erbakan menyetujui delapan tahun pendidikan sekuler untuk melarang siswa dari belajar di sekolah agama, melarang jilbab, dan lainnya. Partai Refah dibredel dan Erbakan dipaksa mengundurkan diri dan dicabut hak politik selama lima tahun. Erdogan adalah salah seorang anggota dari partai ini yang kemudian mendirikan AK Parti.
Kegagalan kudeta terhadap Erdogan kali inidapat dilacak dari beberapa alasan:
Pertama, Erdogan merupakan pemimpin yang terpilih melalui demokrasi dan AK Parti memenangkan mayoritas penuh suara. Reaksi kecintaan terhadap Erdogan diantara mayoritas rakyat Turki sangatlah luar biasa. Pengalaman selama berada di Istanbul penulis mendapati bahwa mulai dari anak-anak, pemuda-pemudi, hingga orang tua yang duduk di kedai kopi pinggiran Istanbul memuji Erdogan.
Faktanya Erdogan dinilai membawa kestabilan ekonomi dan politik, menciptakan iklim sehat bagi kemajuan iptek serta menjadi simbol perlindungan atas tradisi keislaman negeri para sultan ini. Tidak heran seruan Erdogan untuk melawan kudeta dijawab oleh massa dengan turun ke jalan-jalan menghadapi faksi militer yang melancarkan kudeta.
Kedua, selama memimpin, Erdogan tidak secara langsung melabrak sekularisme Turki melainkan menginterpretasi ulang model sekularisme yang diterapkan Kemal Ataturk dari model yang ekstrim, mengutuk agama ke model yang ramah dan mendukung ritual keagamaan di ruang publik. Turki secara konstitusi masih berdasarkan sekularisme, sehingga banyak faksi sekuler karena sejarah yang panjang. Menariknya, oposisi di Turki tidak merasa terancam. Tidak heran dalam situasi kudeta pun pemimpin oposisi ini tetap menyerukan dukungan atas pemerintahan Erdogan atas dasar demokrasi.
Tiga, Turki belakangan ini dilanda oleh berbagai serangan bom dari kelompok separatis Kurdi PKK dan radikal ISIS yang semakin mengeratkan sentiment kebersamaan masyarakat Turki dibawah kepemimpinan Erdogan untuk melawan ancaman dari dalam dan luar terhadap keutuhan Turki.
Keempat, ada penolakan pemerintah dari dunia internasional seperti PBB, NATO, dan Amerika Seri kat terhadap kudeta terhadap pemerintahan demokratis saat ini.
Kelima, dukungan dari para oposisi terhadap pemerintah yang terpilih secara demokratis dan penolakan terhadap kudeta, serta dukungan penuh dari para mantan pemimpin Turki seperti Abdullah Gul dan Ahmet Dovutoglu kepada Erdogan.
Keenam, reaksi cepat dan berani Erdogan dan pasukan khusus yang anti-kudeta di dalam militer dan kepolisian yang melancarkan counter-coup sehingga klaim faksi kudeta atas kendali lapangan sangatlah lemah dan mudah dipatahkan.
Berbagai faktor ini ditambah dengan muaknya masyarakat dan pemimpin Turki terhadap tradisi kudeta yang berulang dalam sejarah modern Republik Turki menjadikan aksi kudeta kali ini menemui kegagalannya. Erdogan dan masyarakat Turki dalam hal ini telah menciptakan sejarah baru bagi negeri para sultan ini dan mengajarkan bagi masyarakat dunia Islam yang beberapa tahun ini digemparkan oleh kudeta terhadap presiden terpilih secara demokratis Mohammad Mursi.
Turki sekali lagi mengajarkan bagaimana eratnya persatuan dan kuatnya kemauan masyarakat mampu melawan aksi kudeta yang ini.
Pemerhati masalah peradaban
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar
Sumber: Hidayatullah.com