(Kisah Aung San Suu Kyi)
Oleh: Denny JA
Dimanakah ia berdiri
Ketika anak anak dipenggal kepala?
Ketika pemuda dibakar hidup-hidup?
Ketika gadis diperkosa bergantian?
Ketika bulan dipanah?
Ketika Rohingya menjerit luka?
Ia yang kini disorot dunia
Terdiam di pojok ruangan
Hatinya gusar
Dipeluknya nobel perdamaian itu
Dipeluknya pula kuasa dari rakyat
Celaka, ujarnya
Harum namaku ketika dizalimi
Kini membusuk ketika aku berkuasa
Oh hidup yang misteri
Kau datang tak terduga
Dikumpulkannya para hulu balang
Dimintanya nasehat:
Apa yang harus kulakukan?
Mengapa terjadi kekejaman?
Lama kurawat kebun bunga
Mengapa kini penuh ular berbisa?
Berdiri satu hulu balang
Ia dikenal ahli strategi
Dingin wajahnya
Sebeku hatinya
Ibu, pemilu kian dekat
Korban itu tak terhindarkan
Keamanan harus ditegakkan
Ketegasan harus ditunjukkan
Kekejaman berguna untuk melumpuhkan
Bahkan samudera yang luas
Perlu ikan hiu yang ganas
Tapi korban itu kelompok minoritas.
Jumlah mereka kurang 5 persen.
Mereka dimusuhi mayoritas.
Menunjukkan simpati pada 5 persen
Akan melukai 95 persen
Jangan ibu membela satu hama
Dan rusaklah kebun bunga
Bertahanlah untuk diam
Tunggu pemilu usai
Ibu lebih bisa berperan
ketika kuasa digenggam
Gegabah memainkan hati
Ibu akan rugi
Pemilu sebentar lagi
Gelap malam memang kelam
Tapi cahaya fajar segera tiba
Sang Ibupun menyanggah
Tapi bukankah aku sekarang berkuasa?
Hatiku bukan kalkulasi matematika
Aku juga punya air mata
Harus ada yang kulakukan
Aku tak suka kekejaman
Jangan beternak ular di kebun bungaku
Kembali bicara hulu balang lain
Ibu, dengarlah rekaman ini
Pasukan kita menjadi saksi
Apa daya kita tak di surga
Masyarakat memang terbelah
Bela semua, tak bisa
Terdengar itu rekaman
Suara pemimpin mayoritas yang ganas
Meyakinkan itu hasutan
Sekaligus menakutkan
Ujar pemimpin itu:
“Lihatlah mereka yang minoritas
Cepat sekali beranak pianak
Mereka kembang biak secepat kelinci
Pada waktunya mereka mayoritas.
Kitapun minoritas.
Mereka akan menindas.
Sebelum terlambat, kita harus menumpas
Demi negara!
Demi keyakinan!
Koor massapun bertalu talu
“Ya, ya, ya
Sebelum terlambat, kita haru menumpas.
Demi negara
Demi keyakinan.”
Hawa panas mengubah angkasa
Hilang sudah langit biru
Berganti kobar api kebencian
Hewan menjerit
Kebun bunga terbakar
Sang ibu semakin gusar
Kembali ia menyanggah
Tapi dunia akan celaka
Jika dibagi mayoritas dan minoritas
Dunia tak dibuat untuk menang dan kalah
Aku harus dengar suara mayoritas
Tapi aku juga punya air mata
Harus ada yang kulakukan
Aku tak suka kekejaman
Jangan tumpas hama
Dengan racun yang menghancurkan kebun bungaku
Berdiri hulu balang lain
Ujarnya;
Ibu harus memilih
Jangan ibu serakah
Tak bisa dapatkan semua
Menjadi pahlawan manusia?
Atau pemimpin yang kuasa?
Dalam dunia yang terbelah
Semakin kuasa ibu sebagai pemimpin
Semakin ibu kurang manusiawi
Semakin ibu manusiawi
Semakin ibu lemah sebagai pemimpin
Silahkan ibu memilih
Kita ada di bumi
Nirwana hanya ilusi
Pergi sudah semua hulu balang
Ia kini sendiri
Lama ia merenung
Hatinya semakin bergetar
Dipeluknya kembali nobel perdamaian itu
Dipeluknya pula amanah kuasa
Ia menjerit dalam diam
Mengapa tak bisa kudapatkan keduanya?
Itu kebun bunga
Yang ia rawat dengan air mata
Tumbuh dari perjuangan lama
Kini terbakar
Bahkan nobel perdamaian itu
Kini meronta
Tak ingin dipeluknya lagi
September 2017