Oleh: Muh. Nurhidayat
KUDETA yang gagal di Turki pada Jumat 15 Juni 2016 lalu masih menjadi kajian tak berkesudahan para akademisi dan peneliti. Pasalnya, seperti dinyatakan Jeffrey Haynes (dalam Marsden & Savigny, 2009), sudah menjadi tradisi politik negara beribukota Ankara, bahwa coup d’etat selalu dilakukan militer kemalis yang tidak bersimpati terhadap pemerintahan religius.
Menurut mantan ketua PPI Turki, Azwir Nazar (2016), dalam sejarahnya, militer memposisikan diri sebagai pemilik sah Turki. Sehingga merasa pantas menggulingkan tiap penguasa yang melenceng dari asas sekulerisme Mustafa Kemal (kemalis).
Necmettin Erbakan adalah perdana menteri religius terakhir yang berhasil digulingkan militer kemalis pada 1997. Partai Islam pengusung Erbakan, Refah Partisi pun juga dibekukan secara paksa oleh militer.
Namun (upaya) kudeta 2016 ini sangat berbeda. Media massa pro-kemalis di Turki dan media mainstream Barat gencar menuduh Fethullah Gulen mendalangi upaya penggulingan kekuasaan perdana menteri Recep Tayyib Erdogan. Gulen yang sudah sangat tua dan sakit-sakitan, dijadikan sebagai ‘kambing hitam’ huru-hara politik negara penghubung benua Asia dan Eropa ini.
Banyak pengamat tidak yakin jika dalang coup adalah Gulen. Muhammad Pizaro (2016) dalam sebuah tulisanya di Harian Republika menyebut Gulen dulunya murabbi sekaligus sahabat sejati Erdogan. Sharif Tagian (2012) menyebut Gulen sebagai guru spiritual bagi AKP (Adalet ve Kalkinma Partisi), partai pengusung Erdogan sebagai perdana menteri sejak 2002.
Erdogan dan Gulen: Dua Arus Kekuatan yang ‘Dibelah’?
Sejarah mencatat, Gulen merupakan pendukung utama pemerintahan Erbakan yang berkuasa setelah Refah menang pemilu demokratis pada 1995. Lebih-kurang setahun pasca di-lengser-kannya Erbakan, jaringan media massa milik Fethullah Gulen mulai gencar membangun citra Erdogan dan AKP-nya. Jaringan media itu meliputi kantor berita Chan, grup televisi Samanyolu (6 stasiun), 3 stasiun radio, dan sejumlah koran nasional–terutama harian Zaman. Haynes (2009) menyebut Zaman yang beroplag 500.000 eksemplar / hari, sebagai koran religius terbesar di Turki. Mirip Republika di Indonesia atau Akhbar al-Yaum di kawasan Arab.
Karena gencarnya pembangunan citra melalui jaringan media milik Gulen, AKP memenangkan pemilu 2002. Sehingga Erdogan pun terpilih menjadi perdana menteri dan sahabatnya, Abdullah Gul menjadi presiden Turki. Kemenangan politik tersebut juga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh Gulen untuk membawa jutaan orang jamaahnya dari sejumlah ormas Islam (terutama Hizmet) untuk memilih AKP.
Maka kemesraan Gulen – Erdogan pun terjadi dengan diterapkannya reislamisasi Turki, terutama pada sektor pendidikan. Di bidang hukum, pemerintahan Erdogan mencabut beberapa UU yang tidak simpatik kepada kaum muslimin. Salah satunya adalah pencabutan UU pelarangan busana muslimah, yang telah berlaku sejak bapak sekulerisme Turki Mustafa Kemal berkuasa tahun 1920-an silam. (Gole dalam Meyer & Moors, 2006)
Setelah Erdogan berkuasa, Zaman—yang pada edisi 11 Mei 2008 berhasil menjual 860.000 eksemplar—masih menjadi mitra bidang informasi bagi pemerintah Turki (Haynes, 2009)
Memang hubungan Gulen – Erdogan tidak selamanya mesra. Pada 2010, ulama kharismatik itu mengkritik kebijakan pemerintahan Erdogan dalam kasus Freedom Frotilla. Setelah hubungan membaik, beberapa tahun kemudian guru dan murid ini kembali tidak mesra. Fenomena ini dipicu oleh seringnya harian Zaman mengkritik pemerintah Turki.
Sebenarnya sangat wajar media mengkritik pemerintah. Sebab media harus menjalankan fungsi pengawasan sosial (social control), agar pemerintah—yang diawasi—tidak melenceng dari norma-norma yang berlaku. Kovach & Rosenstiel (2004) menegaskan bahwa wartawan—dan media massa tentunya—harus bertindak sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan.
Citra Gulen
Banyak yang menilai tidak masuk akal Fethullah Gulen mendalangi kudeta yang gagal itu. Sebab reislamisasi Turki yang dijalankan melalui jalur struktural oleh pemerintahan Erdogan dan AKP-nya, didukung penuh lewat jalur kultural oleh Gulen beserta jamaahnya. Meskipun sering berbeda pendapat dengan Erdogan, Gulen dinilai tidak memiliki alasan kuat—dan masuk akal—untuk menggulingkan muridnya sendiri.
Sebagian mengatakaan, perbedaan pendapat antara Gulen dan Erdogan didasarkan pada masalah teknis, bukan hal prinsip.
Perbedaan lain antara Gulen dan Erdogan tekait rombongan ekspedisi kemanusiaan Freedom Frotilla Mavi Marmara melalui jalur laut ke Gaza.
Dalam wawancaranya dengan Wall Street Journal (WSJ) tahun 2010, Gulen menyatakan bahwa penyelenggara (yang juga termasuk IHH), seharusnya tidak menyerang ‘otoritas ‘ Israel dan harus meminta izin Israel, sebelum memberikan bantuan kemanusiaan ke Gaza.
Gulen menganggap jalur laut—yang diblokade Israel—sangat berbahaya bagi para relawan. Kekhawatiran ini terbukti setelah AL Israel menembaki kapal Mavi Marmara yang mengangkut para relawan tersebut.
Gulen menganggap, organisasi sosial binaan Gulen, Kim Se Yok Mu, selama bertahun-tahun sukses dan aman membawa bantuan ke Gaza melalui jalur darat yang diawasi PBB.
Perbedaan pendapat kedua tokoh ini dipolitisir oleh kaum kemalis untuk memecah-belah kekuatan politik Islam di Turki. Sebab faksi kemalis (penganut sekulerisme Mustafa Kemal) tidak menghendaki Gulen dan Erdogan—yang dikenal religius—dapat bersatu. Sebab jika gerakan kultural oleh jamaah Gulen dan kekuasaan struktural yang dimiliki Erdogan beserta AKP-nya dapat bersinegeri, maka kaum kemalis akan tersingkir dari peta politik Turki.
Terkait bernarkah Gulen terbukti terlibat kudeta, banyak kalangan kelompok Islam menilai, Gulen dan Erdogan adalah dua arus kekuatan Islam yang sengaja ‘dibelah’ untuk kepentingan kaum kemalis.
Ini terlihat ketika media-media pro-kemalis dan media mainstream Barat satu suara dalam menuduh Gulen, setelah militer anti-Islam gagal menggulingkan Erdogan.
Realitias Media
Dalam kajian komunikasi massa, tindakan media anti-Islam tersebut bukan rahasia lagi. Pakar komunikasi Universitas Diponegoro, Turnomo Rahardjo (2012), menegaskan, media bukanlah cermin ‘dunia’ (realitas). Isi media tidak dipahami dalam konteks yang bebas nilai (value-free) namun realitas yang dikonstruksikan media sebenarnya sarat dengan berbagai kepentingan (value-laden). Rahardjo (2012) menambahkan, media massa membawa sebuah ideologi yang konsisten dengan pihak-pihak yang memiliki kepentingan.
Ada alasan kuat mengapa media-media Barat antusias melakukan penghancuran citra (character assassination) keduanya melaluia agenda setting media.
Fethullah Gulen dan jamaahnya merupakan gerakan kultural yang sedikit banyak ikut mencemaskan penganut sekulerisme Barat. Sulitnya Turki menjadi anggota Uni Eropa (UE) ternyata lebih dikarenakan para pemimpin negara-negara Eropa ketakutan dengan pesatnya keberhasilan desekulerisasi di negara beribukota Ankara itu.
Pada 2004, pendiri Partai Liberal Belanda (DLP), Frits Bolkestein, menyatakan sangat beresiko jika Eropa sebagai kawasan peradaban Kristen menerima kehadiran Turki—dalam UE. Meskipun dikenal sekuler, Turki tetaplah negara—berpenduduk 99 persen beragama—Islam. (Haynes, 2009).
Gulen membina Hizmet, ormas Islam yang beranggotakan sedikitnya 4 juta orang. Hizmet banyak menarik warga Eropa (terutama Rusia) untuk berbondong-bondong mengikrarkan syahadatain. Selain itu, Gulen juga mendirikan yayasan sosial Kim Se Yok Mu. Lembaga ini aktif menyalurkan bantuan kemanusiaan kepada masyarakat yang membutuhkan di 160-an negara tanpa membedakan suku, bangsa, agama, maupun ras. Yayasan pendidikan milik Gulen, Pasiad, telah mendirikan 1.500 sekolah dan 15 universitas di 140 negara. Para siswa dan mahasiswa yang menuntut ilmu di lembaga pendidikan Gulen juga berasal dari beragam suku, bangsa, agama, maupun ras.
Namun demikian, Gulen dan jamaahnya tetap dianggap sebagai ancaman bagi eksistensi sekulerisme di Eropa. Bahkan AS—sebagai negara sekuler terkuat dunia saat ini—pun disebut berperan penting dalam kudeta yang gagal itu.
Di sisi lain, ada dugaan keterlibatan Amerika dalam percobaan kudeta. Russia Today melaporkan, Jenderal (Purn.) John F. Campbell dari AS menggunakan jaringan CIA di Nigeria dalam pengaturan transfer dana sebesar USD 2 trilyun untuk kelompok militer pro-kudeta.
Sebagian besar media massa Indonesia pun melakukan copy-paste berita media Barat apa adanya. Parahnya, tidak sedikit umat Islam melalui medsos ikut-ikutan menyebarluaskan berita—yang telah dikonstruksi untuk merusak nama baik kedua tokoh ini.
Sudah sepantasnya umat Islam untuk tetap memperhatikan prinsip tabayyun setiap menerima informasi. Bagaimana kelak hubungan antara Gulen dan Erdogan? Kita lihat perkembangan berikutnya.
Yang jelas, umat Islam sudah dibekali Allah Subhanahu Wata’ala melalui Al-Quran Surat Al Hujurat.
“Wahai orang yang beriman. Jika seorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah (kebenarannya), agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan kamu), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.” (QS. Al Hujurat [49]: 6). Wallahua’lam.*
Penulis adalah dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ichsan Gorontalo, mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar
Sumber: Hidayatullah.com