Oleh: Muslim Arbi,
(Gerakan Aliansi Laskar Anti Korupsi)
Jokowi terlihat tidak happy dengan kekalahan nya yang di alami oleh Ahok di Pilgub DKI lalu. Meski hasil quick count menunjukkan angka ke kalahan telak, jagonnya yang pernah menjadi wakil nya saat sebagai Gubernur. Tapi dapat di pastikan saat real count KPUD DKI, ahok pasti out.
Biasa nya di setiap laga atau pertempuran apa pun bentuk nya kekuatan koalisi yang kalah pasti saling menyalahkan satu sama lain. Hal ini juga terjadi pada Partai2 Koalisi pendukung penerintah. PDIP, Golkar, Nasdem, PKB, Hanura juga PPP. Partai2 ini, adalah kekuatan Ulama selain Relawan yang mendukung Ahok dengan segala daya dan upaya. Ini kah yang membuat Manatan Wali Kota Solo tidak happy?
Padahal, Jokowi sudah harus sadar kekuatan yang di capai oleh Anies-Sandi selain dukungan Gerindra, PKS dan PAN, kekuatan Rakyat memang power full. Kekuatan Rakyat versus Kekuatan Koalisi Partai Penguasa dan Kekuatan Penguasa yang bermain di balik Ahok-Djarot. Ini mesti di sadari penuh oleh Istana.
Kasus yang menerpa Ketua Umum Partai Golkar, Setya Novanto dalam sejumlah masalah termasuk e-ktp yang membuat nya di cekal dan akan bisa ditetapkan tersangka oleh KPK dan KPK yang sedang giat2 nya mengusut kasus BLBI yang bisa menyeret Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, bisa menjadi pintu masuk untuk mendongkel dua pentolan Partai itu. Sedangkan Ketua Nasdem, PKB dan PPP sdh pasti di kantongi oleh Jokowi karena kasus2 mereka dan keretakan dalam tubuh PPP.
Demi kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan, Jokowi bisa saja singkirkan Megawati dan Setya Novanto dan beralih ke dukungan yang lebih riil seperti tampak pada Gerindra, PKS dan PAN dalam Pilkada DKI sekarang.
Soal mengkhianati teman dan dukungan politik yang pernah di lakukan oleh Jokowi saat di Pilgub DKI yang didukung oleh Prabowo, lalu Prabowo di tinggalkan dan bersaing dalam pilpres bagi Jokowi adalah hal yang biasa.
Jangan di anggap dengan menunduk dan mencium tangan Megawati adalah tanda kesetiaan dan tidak akan di khianati. Publik belum lupa di saat masih sebagai Capres, Jokowi sembah2 Abraham Samad selaku ketua KPK agar sejumlah kasus yang disidik KPK seperi Kasus BustransJkt dll aman dan tidak diusik. Tapi begitu Jokowi berhasil jadi Presiden. Orang berbahaya pertama yang disingkirkan dan KPK harus di pimpin orang baru yang bisa di kendalikan.
Dan terbukti pimpinan KPK baru terlihat sangat bela kepentingan Istana dalam hal ini Jokowi dan kepentingan nya. Kasus Bustransjkt pun lenyap tak tentu rimba, begitu juga kasus2 Ahok yang bergitu membisingkan telinga Publik pun KPK seperti Buta dan Tuli. KPK pun di bawah kendali Jokowi dan kepentingan kekuasaan nya.
Tapi, meski demikian terlihat ada gelagat kuat Jokowi akan membangun kekuatan baru dengan menyingkirkan Ketua Umum PDIP dan Golkar nya yang di anggap yidak mampu mendukungnya untuk menggenggam kekuasaan lebih lama (dua periode).
Maka, jangan heran, kalau kasus yang menimpa Setya Novanto dgn E-KTP dan BLBI yang akan menyeret Megawati bisa di gunakan Jokowi untuk mengganti dua Ketum Partai itu dengan Orang2nya. Atau bisa Jokowi ambil alih sebagai Ketum PDIP dan Luhut Binsar Panjaitan sebagai Ketum Golkar menggantikan Setnov, panggilan akrab Novanto.
Dalam politik dan kekuasaan, apa yang di tulis di atas adalah hal yang biasa terjadi. Terpulang kepada masing2 Tokoh yang disebutkan yang sedang menjadi target dapat menyadari permaianan ini.
Apalagi demi kekuasaan dan keuntungan ekonomi dalam melanggengkan kekuatan, kekuatan Para Cukong dan Taipan berada di belakang Jokowi. Contoh nya: Soal Reklamasi Teluk Jakarta, meski salah dan kalah secara Hukum di Pengadilan, demi kepentingan Para Taipan Pengembang, Jokowi mau ambil alih itu. Meski soal Reklamsi itu masih urusan Pemrov DKi. Dan dalam kampanye Gubernur DKI yang baru Anies dan Sandi nyatakan Tolak Reklamasi.
Mojokerto, 25 April 2017