MEDIAHARAPAN.COM, Lombok Timur – Masyarakat Desa Aikperapa, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat di kaki Gunung Rinjani, umumnya bertani. Kesulitan air, masyarakat desa hanya bisa menanam padi sekali dalam setahun, yaitu saat musim penghujan saja. Sebelum tahun 2004, hanya ada satu sekolah, yaitu Sekolah Dasar (SD). Orang tua disana juga enggan menyekolahkan anak mereka, begitu tamat SD, anak-anak membantu orang tua mereka bekerja di ladang.
Prihatin dengan kondisi tersebut, Marwan Hakim, ustad tamatan SD ini memelopori pendirian SMP dan SMA di Aikperapa. Pasalnya, masih banyak orang tua di Airperapa senang jika anaknya sudah lulus SD. Karena dengan demikian sudah bisa membantu mereka bekerja di ladang.
“Bahasanya bukan anak saya lulus. Tetapi anak saya sudah lepas dari sekolah! Seolah-olah sekolah adalah penjara,” ujar Marwan.
Marwan berusaha mengubah paradigma para orang tua dengan pendekatan persuasif. Anak-anak diajaknya mengaji di sore hari. Di kegiatan mengaji itu dia menyemangati anak-anak agar giat belajar.
Dia meyakinkan anak-anak didiknya bahwa mengaji saja tidak cukup. Orang harus pintar supaya bisa bekerja lebih baik dan kehidupannya jadi lebih sejahtera.
Di tahun 2004, usaha Marwan menunjukkan hasil. Ada 11 murid mengajinya datang dengan niat untuk bersekolah. Tak ingin memadamkan semangat anak-anak itu, dengan fasilitas seadanya Marwan berusaha mendatangkan guru. Dia menggunakan rumahnya sebagai tempat belajar mengajar. Rumahnya menjadi SMP pertama di Aikperapa.
Marwan juga mengajak teman-temannya di ibukota kecamatan untuk ikut berjuang mendirikan sekolah di desnya. Hasil perjuangan mereka tidak sia-sia. Sejak 2004, sudah 200 murid SMP dan 50 murid SMA diluluskan. (Helviana)