Oleh: Noer S Azhari
(Sekjend Wahana Muda Indonesia Baru (WMI))
MEDIAHARAPAN.COM – Gubernur DKI Defacto telah ditetapkan KPUD DKI (05/05/2017), hasil pilkada putaran kedua 19 April 2017. 3.2 Juta suara Rakyat Jakarta telah melegitimasi Anies Rasid Baswedan dan Sandiaga Salahudin Uno untuk memimpin Jakarta yang merupakan Ibukota Republik Indonesia. Sementara pasangan Basuki dan Jarot mengalami deligitimasi oleh suara publik Jakarta, mereka hanya memperoleh 2.3 juta suara pemilih.
Keabsahan Anies dan Sandi sebagai Gubernur Jakarta de facto dan de jure menunggu pelantikan. Pada oktober 2017 Otoritas Eksekutif Anies dan Sandi sebagai kepala daerah mulai melekat. Tenggang waktu sejak mei hingga oktober merupakan fase konsolidasi dan adaptasi sebagai kepala daerah khusus ibukota.
Manifesto dari pasangan Gubernur terpilih harus di introdusir dalam kebijakan oprasional kepala daerah. Lokus kebijakan Gubernur tertuang dalam Rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD). Flatform ini menjadi pijakan Gubernur 5 tahun Anis termaktub Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) dalam proses anggaran (APBD).
Perubahan APBD 2017
Akankah terjadi kompromi dan rekonsiliasi politik antara Gubernur definitif Ahok dan Anies dalam RPJMD. Mandat politik Gubernur terpilih dengan legitimasi suara publik Jakarta telah sesuai meknisme konstitisional. Pada 30 April 2017 KPU DKI Jakarta telah menetapkan hasil rekapitulasi penghitungan suara tingkat provinsi.
Penetapan pemenangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang meraup 3.240.987 suara atau setara 57,96 persen. Pilihan rakyat ini adalah wujud koreksi terhadap pasangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat memeroleh 2.350.366 suara atau setara 42,04 persen. Koreksi pilihan politik warga Jakarta terhadap pentahana memiliki konsekwensi terhadap terkoreksinya RPJMD Jakarta.
Bagai mana bersama-sama mengkoreksi untuk memuaskan 58 persen pemilih Jakarta dan rekonsiliasi dengan 42 persen pemilih yang berbeda. Komposisi diparlemen Gubernur DKI terpilih di sufort fraksi Gerindra dan PKS. Kolaborasi terkait agenda politik 5 tahun Gubernur terpilih adalah bagaimana melakukan rekonsilisasi dan kompromi dengan gubernur dedinitif.
Rekonsiliasi dan kompromi karena terkait perbedaan visi dan misi antara Gubernur terpilih dan Gubernur definitif. Visi terkait isue sensitiv seperti reklamsi, penggusuran, DP 0 %, dan lain-lain perlu dilakukan transisi kekuasaan eksekutif Jakarta terkait RPJMD. Tarik-menarik sangat kuat pasti terjadi antara Ahok dan Anies terkait isue sensitif tersebut.
Post power syndrom
Proses transisi di level Top Eksekutif DKI Jakarta harus terlembaga, mengingat mandat publik 50 % plus sangat legitimit. Lenyapnya legitimasi publik Jakarta terhadap pentahana adalah sebuah keniscayaan yang harus di hadapi. Jangan sampai Pentahaana masih post power sydrom terkait keterlibatan dan tandatangannya dalam penyusunan RPJMD. Karena proses politik pilkada DKI 2017 telah mengkoreksi kinerja selama 5 tahun lalu.
Undang-undang nomor 17 tahun 2007 tentang rencana pembangunan nasional jangka panjang nasional 2005-2025. Penekanan regulasi ini adalah kepada kepala daerah yang akan memimpin 5 tahun kedepan. Merujuk pada peraturan menteri dalam negeri nomor 54 tahun 2010 pasal 6 dan 9. Dalam menyusun RPJMD menggunakan pendekatan teknokratis, partisipatif, politis, top down dan bottom up.
Kewenangaan Gubernur terpilih untuk menyusun RPJMD ada dalam Pasal 9 peraturan menteri dalam negeri. Pasal ini memperjelas terkait program-program pembangunan yang ditawarkan masing-masing calon kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih pada saat kampanye di susun kedalam RPJMD.
Dengan memperhatikan ketentuan tersebut pemerintah Provinsi DKI di bawah kepemimpinan Ahok tidak menyusun RPJMD DKI Jakarta 2018-2022. Gubernur Jakarta yang terpilihlah yang memiliki kewenangan mutlak dalam menyusun RPJMD DKI 2018-2022. Publik Jakarta harus mengawasi terkait janji pemerintahan Anies-Sandi yang akan mulai menjabat pada Oktober 2017.