MEDIAHARAPAN.COM, Jakarta – Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA) menggelar launcing dan bedah buku merupakan karya Maman A Majid Binfas berjudul: Retrospeksi Gerakan Pendidikan dan Kebudayaan, Kamis (15/6/2017)
Di samping ada 3 buku yang dilauncing, di antaranya buka Karya Prof. Dr. Yunan Yusuf; Tafsir Kitabun Hafizh yang teriprasi dari surah Qaf; Buku karya Dr. H. Manager Nasution, MA., berjudul “HAM dalam Konteks Keindonesiaan; dan Dr. H. Sudarnoto Abdul Hakim, MA., yang berjudul Penggumulan Politik Malaysia Kontemporer.
Launcing dan bedah buku kali ini dianggap sangat luar biasa sehingga Direktur Pascasarjana UHAMKA, Prof. Dr. Abdul Rahman A Ghani menilai, ini mungkin jadi pertama kali kampus membedah banyak buku di satu perhelatan yang sama.
Karenanya, ia merasa ini sesuatu yang luar biasa dan berharap dapat menjadi budaya dosen. “Semoga budaya menulis buku akan ditularkan menjadi budaya dosen-dosen di UHAMKA.” Kata A. Ghani.
Lebih Lanjut Prof. Abdul Rahman A Ghani menjelaskan, bahwa budaya menulis dosen itu setidaknya akan dilakukan setiap enam bulan atau satu tahun sekali. Menurutnya, budaya menulis dosen akan menopang akreditasi program studi dan institusi sendiri.
Dosen UIN Sunan Kalijaga, Prof. Dr. Abd. Munir Mulkan menilai, Muhammadiyah dan NU memang terikat karena KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari sebenarnya satu guru satu ilmu. Ia menuturkan, salah satu tradisi yang terikat yaitu tentang majelis taklim. Ia berpendapat, majelis taklim yang populer di kalangan NU merupakan hasil tradisi Muhammadiyah. Sebab, sejak dulu sudah ada guru-guru keliling Muhammadiyah yang sempat pula kontroversi karena dianggap melecehkan kiai-kiai lama kala itu.
“Sayang, majelis taklim tidak populer di warga Muhammadiyah, populernya di NU,”.
Sedangkan budayawan Mohamad Sobari mengingatkan, penulisan buku seperti ini memiliki pedoman yang harus dilakukan yaitu membaca seluruh buku-buku Muhammadiyah dan NU.
Ia menegaskan, itu langkah yang wajib dilakukan penulis, tidak bisa tidak. Selain itu, ia menyoroti nilai-nilai akademik yang belum disentuh dan tidak terlihat di buku Meluruskan Sejarah Muhammadiyah-NU. Ia menekankan, etika akademik memang sedikit kurang ajar tapi memang itulah kebenaran yang harus selalu dipegang. Karenanya, Sobari menegaskan kalau etika akademik itu tidak bisa diacuhkan, harus senantiasa dijadikan pegangan penulis akademis.
Namun, penulis Meluruskan Sejarah Muhammadiyah-NU, Maman A Majid Binfas, Ph.D menjelaskan, judul itu pertama sebenarnya diambil dari disertasi tentang budaya Pengelolan pendidikan Muhammadiyah dan NU. Selain itu, ia mengaku ada perombakan yang membuat tidak teraturnya isi. Akan tetapi tidak semua seperti apa dinilaikan oleh Bang Mohammad Sobary, dibenarkan secara akademik itu benar, karena kebenaaran Mutlak keilmuan akademis adalah hak mutlak Tuhan itu sendiri. Di sisi lain nilai keilmuan baleh berbeda cara pandang dan dimensi keakuratannya. Saya boleh berbeda dengan siapa pun pakar termasuk dengan Prof. Munir dan Bung Mohammad Sobary mengenai hasil kajiannya akan tetapi tidak mesti serampangan dan kurang bijak dalam beragumentasi untuk mengimelentasikannya.
Oleh karena itu, menilai “Meluruskan Sejarah Muhammadiyah-NU: Retrospeksi Gerakan Pendidikan dan Kebudayaan” mesti baca secara utuh dan tidak sepotong, yakni hanya pada cover dan kata pengantarnya dengan esensi pada kesimpulannya saja.
Seharunya, para pembaca atau pembedah menelurusi asas kajian sebagaimana tujuan di dalam Penelitian buku ini yang bertujuan untuk mengidentifikasi dan memahami persamaan dan perbedaan; Jejak asal-usul, budaya, sistem pengelolaan pendidikan Muhammadiyah dan NU di Indonesia. Dengan menggunakan medotologi penelitian kualitatif bersifat historical studies dalam model deskriptif; digunakan untuk mendapatkan realitas sebenarnya.
Buku ini berupaya semaksimal mungkin untuk hadir menerobos tirai-tirai apologi yang menghambat pembongkaran proses jejak sejarah yang jujur dan berlapang dada guna menerima kenyataan apa adanya. Sehingga bisa menempatkan jarum jejak sejarah karena realitas kejujuran intelektualitas bagi kehidupan generasi masa kini dan akan datang. “Tentu, selain itu, penulis ingin menguak seperti apa gaya atau budaya pendidikan Muhammadiyah dan NU di Indonesia.
Seperti dijelaskan oleh Zamah Sari (Wakil Rektor III UHAMKA), bahwa apa yang dimunculkan oleh Maman A. Majid Binfas, dalam bukunya, di mana Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sering disalahpahami masyarakat sebagai dua organisasi yang saling bermusuhan, padahal kedua tokoh pendirinya satu keturunan dan satu perguruan, .
“Kakek dari KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah dan KH Hasyim Asy’ari pendiri NU sama (Maulana Ainul Yakin bin Maulana Ishak),” Selain itu kedua organisasi Islam terbesar di Indonesia tersebut, juga memiliki referensi dan acuan Islam yang sama karena kedua pendirinya memiliki guru yang sama yakni Syeikh Ahmad Khathib Al-Minankabawi, tutur Wakil Rektor Uhamka itu.
Hanya saja keduannya berkembang dan memiliki corak dakwah yang berbeda, NU dengan wajah Islam yang tidak terpisahkan dari perdesaan dan Muhammadiyah yang lebih banyak bergerak di perkotaan, keduanya memiliki tugas masing-masing.
“Jadi tidak benar ada gesekan. Perdebatan dalam hal pendidikan atau lainnya itu hanyalah soal dinamika anak bangsa dari persepsi yang berbeda-beda. Jangan dipahami sebagai permusuhan. Justru bangsa ini besar karena menghargai keanekaragaman,” ujarnya.
Sementara itu, penulis buku “Meluruskan Sejarah Muhammadiyah-NU”, Dr Maman A Majid Binfas mengatakan, dari sejarahnya kedua organisasi sebenarnya satu perguruan, tapi perbedaan pendapat antara KH. A. Wahab Hasbullah dan KH.Mas Mansur menjadi awal perpisahan dan menghasilkan konflik bersifat positif sehingga melahirkan organisasi NU tahun 1929. (Nasir/Rls)