Oleh: Susiyanto
Upaya memisahkan antara Islam dan kebudayaan akan terus terjadi. Dalam beberapa forum diskusi, ada temuan upaya memfitnah salah satu ormas Islam dengan menggunakan ungkapan “Lawon Sapta Ngesthi Aji”. Disini saya tidak bertendensi membela terhadap ormas tersebut, melainkan berupaya meluruskan agar tidak terjadi fitnah dengan mengatasnamakan kebudayaan Jawa dan Islam. Sebab meme ini nampaknya telah tersebar luas di kalangan pecinta budaya, sehingga perlu kiranya ditanggapi. Di sini, posisi saya sekedar berupaya menjawab pertanyaan sejumlah rekan berkaitan dengan meme yang beredar tersebut.
Menurut satu meme yang diunggah oleh kalangan mereka ungkapan “Lawon Sapta Ngesthi Aji” ini memiliki satu kata yang “terkepras guru wilangan” yaitu kata “sapta” yang seharusnya bermakna “sapata”. Dengan demikian keseluruhan ungkapan tersebut menurut meme yang dibagikan bermakna “orang-orang yang berseragam serba putih lengkap dengan sumpah serapahnya berupaya untuk mendapatkan kehormatan.” Nampaknya pembuat meme ini sejak awal memang memiliki keinginan menggiring pembaca bahwa entitas yang dimaksud oleh ungkapan “Lawon Sapto Ngesthi Aji” tersebut adalah ormas FPI. Benarkah demikian penafsiran seharusnya?
Nampaknya perlu didudukkan terlebih dahulu persoalannya. Diantaranya masalah yang perlu dibicarakan (1) Kalimat “lawon Sapta Ngesthi Aji” adalah sebuah ungkapan sengkalan. Hal ini juga telah disetujui oleh pembuat meme. (2) Benarkah untaian ungkapan tersebut telah “terkepras” oleh aturan guru wilangan? (3) Apa makna sebenarnya dari “Lawon Sapta Ngesti Aji”? Ketiga persoalan ini nampaknya perlu dibicarakan untuk menjernihkan persoalan.
Pertama,
Kalimat “Lawon Sapta Ngesthi Aji” merupakan ungkapan sengkalan. Sengkalan maksudnya adalah susunan kata-kata atau kalimat yang masing-masing “kata” itu mewakili suatu bilangan tertentu dan secara keseluruhan membentuk angka tahun. Dengan demikian ungkapan “sengakalan” mestinya harus diterjemahkan atau dikonversi menjadi bahasa angka yang membentuk angka tahun. Kata “Lawon Sapta Ngesthi Aji” sendiri jika dianalisis dengan menggunakan teknik sengkalan akan diperoleh angka-angka sebagai berikut: Lawon = 7, Sapta = 7, Ngesthi = 8, dan Aji = 1. Dengan demikian ungkapan tersebut membentuk angka tahun Jawa 1877 (aturannya, dibaca dari belakang).
Jika dikonversi ke dalam tahun Masehi maka didapatkan angka tahun 1945. Tidak heran oleh sebagian kalangan kebatinan ungkapan ini lantas dimaknai sebagai “ramalan” atau jangka tentang “kemerdekaan Indonesia” yang termuat dalam “Jangka Jayabaya versi Sabda Palon” atau “Serat Jangka Sabda Palon”.
Kedua,
Benarkah kalimat “Lawon Sapta Ngesthi Aji” telah “terkepras” (diringkas) akibat aturan guru wilangan dalam tembang Macapat? Perlu dipahami tembang Macapat memang memiliki aturan penulisan yang sangat ketat terkait jumlah suku kata dalam satu larik tembang. Aturan ini disebut guru wilangan. Artinya, dalam satu larik tembang batas suku katanya telah dibatasi dengan aturan yang tidak bisa ditawar. Jika satu larik tembang terdiri dari 8 suku kata, misalnya, maka suku kata yang digunakan tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang. Oleh karena itu penggunaan suku kata yang berlebihan perlu diringkas dengan jalan kata-katanya digabungkan.
Cara meringkas gabungan kata (tembung camboran) yang paling umum dilakukan oleh para pencipta lagu adalah dengan cara (1) mengurangi suku kata, misalnya kata: “ingsun” menjadi “sun”, “nagari” menjadi “nagri”, dan lain-lain atau (2) menggabungkan dua kata sekaligus menjadi satu dengan mengurangi jumlah suku katanya (dikenal dengan sebutan tembung garba), misalnya: nara + pati menjadi “narpati”, mungguh + ing menjadi “munggwing”, malebu + ing menjadi “malbeng” dan lain-lain.
Berkaitan dengan meme di atas, ada klaim bahwa kata “sapata” telah diringkas sehingga menjadi kata “sapta”. Upaya mengurangi suku kata yang dilakukan oleh para pencipta tembang macapat sebenarnya tetap memiliki aturan baku yaitu jangan sampai kata itu justru memiliki makna yang ambigu atau justru memiliki makna yang lain. Mengalihkan kata “sapata” menjadi “sapta” jelas tidak masuk akal untuk dilakukan. Sebab kedua kata ini memiliki makna yang sangat berlainan. Kata “sapata”, atau tepatnya “sepata” memang bermakna sumpah, serapah, atau kutukan. Sedangkan kata “sapta” merujuk pada makna bilangan “tujuh”. Jadi dari sisi makna jelas kata “sapta” dalam ungkapan “Lawon Sapta Ngesthi Aji” jelas bukan bentuk ringkas dari kata “sapata”. Di sini meme tersebut jelas salah.
Jika pengarang tembang sejak awal bermaksud menggunakan kata “Sapata” maka kata ini sebenarnya bisa tetap dipertahankan tanpa perlu diringkas (dengan konsekuensi kehilangan makna awal) dengan menggunakan teknik tembung garba. Sehingga ungkapan lengkapnya menjadi “Lawon Sapata Ngesthyaji” (=terdiri dari 8 suku kata). Dengan demikian, kata “ngesthi aji” diringkas tanpa resiko mengalami penyimpangan makna menjadi “ngesthyaji”. Tetapi pengarang tembang nyatanya tidak menempuh cara ini, jadi jelas ungkapan “Lawon Sapta Ngesthi Aji” (terdiri dari 8 suku kata) sudah BENAR dan pada tempatnya.
Ketiga,
Apa makna sebenarnya dari “Lawon Sapta Ngesthi Aji”? Sebagian dari kata-kata yang digunakan dalam ungkapan ini telah diterjemahkan dalam meme. Kata “lawon” bermakna “kain putih” yang sebenarnya mengacu pada “kain putih” yang digunakan untuk membungkus mayat atau kain kafan. Dalam bahasa Jawa, kata “lawon” juga sering disebut dengan kata “mori”. Namun perlu diketahui bahwa “Lawon” tidak selalu berwarna putih, sebab kain “jarit” yang digunakan untuk menutup jenazah juga bisa disebut sebagai “lawon”. Jadi jelasnya kata “lawon” ini berhubungan dengan kain yang digunakan untuk membungkus jenazah.
Sementara kata “Sapta” sendiri bermakna menunjuk pada bilangan angka “tujuh”. Sedangkan kata “ngesthi” bermakna “kehendak, cita-cita, pandangan, keinginan, dan lain-lain. Terakhir, kata “aji” memang bermakna “kehormatan”, namun itu bukan arti satu-satunya. Kata “aji” ini juga memiliki makna antara lain “berharga”, dihubungkan dengan kaum haji, atau kata “Wulan aji” dihubungkan dengan “Besar”, yaitu salah satu nama bulan dalam kalender Jawa. Kata “aji” sendiri juga bermakna “raja”. Lantas tepatkan ungkapan “Lawon Sapta Ngesthi Aji” ditafsirkan sebagai keberadaan dan sepak terjang salah satu ormas di tanah air?
Nampaknya, ungkapan itu perlu dikaji dengan menyertakan teksnya agar lebih mudah ditemukan kesinambungannya dengan makna yang dikehendaki. Adapun teksnya adalah sebagai berikut:
“Sanget-sangeting sangsara, kang tuwuh ing tanah Jawi, sinengkalan tahunira, Lawon sapta Ngesthi Aji, upami nyabrang kali, prapteng tengah-tengahipun, kaline banjir bandhang, jerone nglelebne jalmi, kathah manungsa prapteng pralaya”.
(Waktu paling sengsara yang terjadi di tanah Jawa terjadi pada sengkalan tahun “Lawon Sapta Ngesthi Aji”. Umpama menyeberang sungai setelah sampai di tengah-tengah, sungainya banjir besar, kedalamannya menenggelamkan manusia, banyak manusia yang tewas)
Dengan memahami teks di atas dapat diketahui bahwa ungkapan “Lawon Sapta Ngesthi Aji” itu maknanya harus dihubungkan dengan suatu “jaman yang sangat sengsara”, jadi bukan pada suatu entitas semacam individu atau sekelompok manusia. Dengan demikian makna ungkapan itu tidak dapat dituduhkan kepada FPI.
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, kata “Lawon Sapta Ngesthi Aji”, jika dikonversi ke dalam tahun Masehi akan didapatkan angka 1945. Maka tidak mengherankan jika sebagian kalangan kebatinan lantas menganggap bahwa ungkapan itu sebenarnya merupakan “ramalan” bagi kemerdekaan Indonesia yang juga terjadi pada tahun yang sama.
Namun, benarkah hal ini merupakan ramalan? Mengacu pada ungkapan “Sanget-sangeting sangsara, kang tuwuh ing tanah Jawi …” nampaknya agak sulit menggambaran bahwa kemerdekaan merupakan suatu kondisi dimana masyarakat digambarkan sangat sengsara sehingga diibaratkan “upami nyabrang kali, prapteng tengah-tengahipun, kaline banjir bandhang, jerone nglelebne jalmi, kathah manungsa prapteng pralaya”.
Bukankah kemerdekaan itu merupakan satu pencapaian yang sangat diimpikan bangsa Indonesia? Tidakkah bangsa Indonesia bahagia mendapatkan anugerah kemerdekaan? Jadi, ungkapan itu merupakan ramalan atau bukan, nampaknya sangat tergantung pada cara pandang yang menjadi titik tolak pemikiran seseorang.
Apakah Jangka Jayabaya anti Islam?
Banyak orang yang berupaya mengangkat isu pemisahan antara Islam dan kebudayaan. Termasuk diantaranya memanfaatkan tradisi tertulis semacam Jangka Jayabaya versi Sabda Palon. Namun tidak sedikit diantara mereka yang seringkali kurang jujur dalam menyampaikan fakta. Memanipulasi sebagian isi dan mengesampingkan hal-hal yang tidak sesuai dengan kepentingannya.
Justru Jangka Sabda Palon dari segi isinya menunjukan bahwa ada keinginan mendalam dari tokoh “Sabda Palon” untuk menganut Islam pada masa yang akan datang, yaitu pasca lima ratus tahun ramalannya. Menurut Sabda Palon ajaran Islam yang dibawa oleh para Wali Songo, termasuk Sunan Kalijaga, belum merupakan ajaran Islam yang sempurna.
Sabda Palon berkehendak menganut ajaran agama ini jika telah diajarkan secara sempurna, kafah tanpa sinkretisme. Inilah yang oleh Sabda Palon disebut “Islam kang sejati”. Hal ini ditunjukkan pada bagian agak akhir Serat Jangka Sabda Palon sebagai berikut:
Thathit kliweran ing nusa Jawa, pertandhane wong nuduhna, sampurnakna agamane, yeku agama rasul, anyebarna Islam Sejati, duk jaman Brawijaya, ingsun datan purun, angrasuk agama Islam, marga ingsun uninga agama niki, nlisir saking kang nyata.
(Kilat menyambar-nyambar di Pulau Jawa, sebuah pertanda yang menunjukkan, sempurnakan agamanya yaitu agama rasul, sebarkanlah Islam yang sejati, pada jaman Brawijaya aku belum mau memeluk agama ini sebab aku tahu agama ini masih menyimpang dari yang seharusnya).
Moh. Hari Soewarno, seorang wartawan dan budayawan Jawa, menafsirkan kalimat di atas bahwa pada masa kehidupan Prabu Brawijaya, raja Majapahit, tokoh Sabda palon belum bersedia menganut Agama Islam dan lebih memilih menganut Agama Buda. Alasannya, Sabda Palon masih menganggap bahwa penganut Islam saat itu masih menyimpang dari ajaran Islam yang murni.
Namun pada saatnya kelak, jika Agama Islam telah diajarkan secara murni, maka Sabda Palon akan bersedia memeluknya. Dalam anggapan Sabda Palon, Islam belum dianggap mencapai kesejatian atau kemurnian jika hanya diamalakan menjadi ibadah ritual belaka tanpa memperhatikan kebersihan jiwa. Juga tidak menjadi murni jika hanya diucapkan dibibir namun tidak menjadi praktek nyata.
Bahkan pada bagian akhir Jangka ini tokoh Sabda Palon mengancam “manusia Jawa” jika mereka tidak mengikuti dirinya memeluk agama rasul yaitu islam yang sejati. Maka akan berat tanggungjawabnya kelak. Hal ini ditujukkan sebagai berikut:
Sampurnakna agamane, yeku agama Rasul, Islam kang sejati … Ngelingana he pra umat sami, yen sira tan ngetut kersaning wang, yekti abot panandhange, ingsun pikukuhipun, nuswantara ing saindenging, …
(Sempurnakanlah agamanya yaitu Agama Rasul, Islam yang sejati … Ingatlah wahai umat jika kalian tidak mengikuti kehendakku, maka akan berat beban yang kalian tanggung, sebab aku ini adalah pengukuh bumi Nusantara dan sekitarnya …)
Penutup
Demikian persoalan telah saya jawab. Mohon maaf tulisan ini dibuat dengan terburu-buru. Quod Erad Demonstrandum!