MEDIAHARAPAN.COM, Ambon – Salah satu pemuda Maluku Glendy Somae, yang juga adalah penyair dan pekerja perdamaian, menggunakan kaos bertuliskan “Selumena Mena Muria” sempat ditahan dan diinterogasi oleh pihak Kepolisian Maluku, Sabtu (26/05). Glendy bahkan dipaksa untuk membuat surat pernyataan tidak lagi menggunakan atribut yang bertuliskan Mena Muria.
Sontak saja insiden yang dipublikasi di media sosial ini, mendapat reaksi beragam dari netizen, khususnya warga Maluku. Seperti di Facebook, Budayawan Maluku Rudi Fofid, menulis; Anjrit, polisi membunuh kebudayaan. Kau otak nangka. Bunuh kebudayaan Maluku, kau lebih jahat dari Spanyol, Potugis, Belanda, Jepang. Rudi juga menuliskan agar rekan-rekan yang punya akses ke Kapolda Maluku agar dapat memberikan pembinaan kepada jajarannya. “Kawan-kawan tolong sampaikan ke Kapolda supaya bina nangka-nangka ini (oknuma-oknum polisi.red),” tulisnya.
Hal yang sama disampakan Revelino Nepa Papilaya, yang menulis sudah saatnya ‘Mena Muria’ dikembalikan sebagai milik kebudayaan, milik bersama, milik orang Maluku. “Hal tersebut tak harus menjadi momok untuk diekspresikan,” tegasnya.
Ia menambahkan, Mena Muria yang pada akar bahasa berarti muka dan belakang sudah ada jauh di masa silam , sebelum kelompok sempalan di tahun 1950 menggunakannya. Alexander Yacob Patty, Tokoh Indonesia asal Maluku, memakainya sebagai nama surat kabar, wadah kampanye pikiran dan gerakan nasionalisnya.
“Dalam semantik kebudayaan, gabungan dua kata tersebut seharusnya tak perlu dipahami sebatas milik kaum yang berhaluan lain dengan NKRI. Mena Muria sudah ada dalam jantung anak Maluku,” urainya.
Ia pun bertanya, bila sekelompok pendayung arumbai, pemimpin di depan meneriakkan komando ‘Mena’ dan disambut dengan pekik ‘Muria’ sebagai tanda kesiapan oleh para pendayung, apakah hal tersebut adalah bentuk separatisme?
“Siap muka-belakang! Dapat dimaknai sebagai warisan kepada masa depan, di mana generasi macam kita menunjukkan jalan dan cara yang tepat sebagai bekal kepada angkatan-angkatan yang ada di setelah kita. Kesiapan menerima tongkat estafet bernama Maluku,” jelas Papilaya.
Aktivis Maluku, Azis Tunny juga menuliskan opininya terkait insiden itu. “Sebagai orang Maluku, Mena Muria itu identitas kita. Mena Muria bukan sekadar ungkapan budaya yang terekspresi melalui bahasa tanah, asli Maluku, tapi lebih daripada itu merupakan refleksi kesadaran sosio-historis-kultural anak-anak suku bangsa Alifuru,” tulisnya.
Dirinya menambahkan, Mena Muria itu kearifan lokal, jati diri orang Maluku, ideologi kebudayaan, bukan ideologi politik yang salah ditafsirkan oleh orang-orang gagal paham dan tak pernah belajar budaya. Mena Muria sebagai salah satu “roh budaya” dalam konstruksi identitas ke-Maluku-an telah terdistorsi menjadi bahasa politik oleh stereotipe dan terfragmentasi pada kapling ideologi yang tersesat dalam mitos-mitos dan kemudian dicap sebagai separatis secara sepihak oleh negara. “Makna simbolik Mena Muria harus diselamatkan oleh katong semua sebagai pewaris budaya Maluku. Mena Muria!,” tegasnya.
Ada banyak tanggapan senada dari warga Maluku di media sosial. Bahkan sebagai bentuk protes dan solidaritas, selain komentar bernada protes, banyak pula yang sengaja memajang foto mereka memakai kaos bertuliskan ‘Mena Muria’.
Saat berita ini diturunkan, diinformasikan Glendy telah dibebaskan atas perintah dari Kapolda Maluku Irjen Polisi Andap Budhi Revianto. Namun Koordinator Maluku Crisis Center (MCC) Ikhsan Tualeka, tetap menyesalkan insiden ini. menurutnya hal ini tak perlu terjadi andaikan ada paradigma kolektif yang memadai, objektif dan proporsional dikalangan anggota kepolisian di Maluku.
Ikhsan bahkan mendesak kepolisian untuk meminta maaf terkait insiden itu. “Polisi harus minta maaf, tidak saja kepada Glendy sebagai korban, tapi juga kepada masyarakat Maluku, karena insiden semalam dapat memperpanjang stigama separatis bagi orang Maluku, mencederai hak kultural warga negara, dan menunjukan belum ada pemahaman keloktif anggota kepolisian terhadap kultur dan adat di Maluku.
“Kita harus melihat ini sebagai tindakan institusi, bukan perorangan, karena itu dilakukan oleh anggota kepolisian saat berdinas, dan dengan mengunakan fasilitas kepolisian atau negara,” tegas Ikhsan
Menurutnya, permintaan maaf menjadi penting, agar tidak menjadi preseden buruk dikemudian hari. “Dengan ada permintaan maaf, kepentingan kita sebagai generasi muda Maluku untuk mengembalikan istilah atau slogan ‘Mena Muria’ pada roh dan konteksnya dapat terjadi, sehingga tidak terus menjadi klaim atau milik kelompok yang selama ini berseberangan dengan NKRI,” pungkasnya.(MH)