Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, diminta bersikap soal dugaan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Puncak, GT, terafiliasi dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Pangkalnya, diyakini sebagai perubahan pola dalam memisahkan “Bumi Cendrawasih” dari NKRI.
“Saya melihat ini (masuknya GT sebagai Komisioner Bawaslu) adalah bukti OPM mengembangkan strateginya agar Papua pisah dari NKRI. Kalau dulu mengutamakan perang asimetris dengan angkat senjata, sekarang mengedepankan strategi simetris dengan masuk ke dalam sistem,” kata Direktur Merah Putih Strategic Institute (MPSI), Noer Azhari, dalam keterangannya, Rabu (30/8).
“Dengan demikian, negara tidak boleh diam. Negara harus segera bersikap. Oleh karena itu, saya mendorong Menko Polhukam segera angkat bicara dan menugaskan otoritas terkait, baik aparat pertahanan dan keamanan maupun intelijen, untuk mendalami masalah ini,” sambungnya.
Noer menguraikan, ketika terduga anggota atau simpatisan OPM masuk ke dalam sistem, utamanya lembaga penyelenggara pemilu, maka berpeluang menempatkan “bonekanya” sebagai kepala daerah. Pangkalnya, telah menguasai Komisi Pemilihan Umum (KPU) ataupun Bawaslu.
“Tidak akan ada kesulitan bagi OPM untuk memenangkan pilkada karena sistem sudah dikuasai karena punya perwakilan di penyelenggara pemilu. Bisa saja suaranya dimanipulasi, kecurangan tidak diusut, dan melakukan manuver lain untuk memastikan anggotanya terpilih sebagai kepala daerah,” bebernya.
Ketika menjadi kepala daerah, sambung Noer, upaya melepaskan Papua dari NKRI kian mudah. Pun dengan menyalurkan logistik bagi OPM.
“Kalau sudah punya perwakilan di pemerintahan daerah, semakin mudah menyalurkan logistik dan bantuan lain menggunakan APBD untuk membiayai pergerakan OPM. Apalagi, dana otsus (otonomi khusus) besar,” jelasnya.
“Nah, makanya saya bilang masuknya jaringan OPM ke dalam sistem adalah perubahan strategi yang berbahaya bagi negara. Soalnya, cara ini lebih efektif dan efisien daripada perang asimetris,” tandas Noer.