Oleh : Saifullah Ibnu
MEDIAHARAPAN.COM – Ditengah musim kampanye pilkada serentak di 171 daerah tahun ini. Publik di gegerkan dengan berita penangkapan Ketua Panwaslu dan anggota KPU Kabupaten Garut oleh Satgas Anti Money Politic Polda Jabar, sabtu 24/2/2018, atas dugaan menerima suap dari calon perseorangan pilkada Garut 2018.
Kejadian ini tidak hanya menodai lembaga penyelenggara pemilu/pilkada, tapi merubah rumor menjadi fakta tentang dugaan kecurangan yang dilakukan penyelenggara dengan bakal calon atau calon dibanyak daerah selama ini.
Disisi lain, praktek suap menyuap makin meneguhkan hipotesis yang berkembang, yaitu Pilkada langsung adalah kompetisi yang melibatkan uang banyak. Pilkada berbiaya mahal memang tampak diterima sebagai “takdir” demokrasi. Tapi dalam pengertian biaya penyelenggaraan untuk melaksanakan dua ambisi etis demokrasi sekaligus yaitu mewujudkan kedaulatan rakyat via direct election yang demokratis dan demi lahirnya pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat di tingkat daerah.
Kendati pikiran ini dalam perkembanganya dilabeli sebagai demokrasi prosedural, tak lebih dari itu. Salah satunya datang dari Thomas Mayer 2002, yang mengatakan, “demokrasi tidak hanya prosedur dalam pengambilan keputusan. Demokrasi adalah suatu sistem nilai”.
Kemewahan pesta demokrasi yang tidak berpijak pada nilai sangat mudah jatuh dalam pangkuan plutokrasi. Demokrasi rasa plutokrasi juga sulit untuk tidak menghasilkan noda-noda politik pilkada (money politics, suap dan manipulasi).
Jika dibiarkan pilkada ternoda, mungkin akan melampaui makna resesi demokrasi (democratic decline) itu sendiri. Sebab kata Alberto J Olvera (2010) resesi bisa menyebabkan demokrasi elusif (elusive democratic) yakni penurunan kualitas demokrasi. Tapi pilkada yang “berlumuran” noda politik pasti menghancurkan demokrasi itu sendiri.
Dapat dipahami memang, sejauh ini suksesi kepemimpinan lokal via bilik suara dengan rumus one man, one vote, one value belum sepenuhnya di isi oleh kematangan budaya politik dan kesadaran hukum secara kolektif sebagaimana diharapkan. Masih banyak kegiatan politik mobilisasi massa lewat slogan-slogan dogmatis, adu tebar fulus, “caci maki” dan “pertawuran” hoax diantara tim paslon, serta kampanye predatoris yang saling memangsa via isu suku, agama, ras dan antar golongan, manipulasi dan kecurangan lainya yang merusak keluhuran dan kesucian pesta demokrasi.
Noda Politik Pilkada
Noda politik pilkada bermula dari power struggel (perebutan kekuasaan) para elit pemburu kuasa dan kejahatan pilkada oleh penyelenggara dengan kontestan. Jejak perebutan kekuasaa antara para pemburu kuasa dapat ditelusuri melalui kasus konflik pilkada yang sampai menelan jiwa dan kerusakan fasilitas publik. Misal diantaranya pilkada Kabupaten Mojokerto (2010), Kabupaten Puncak (2012), Kota Palopo (2013).
Sementara kejahatan pilkada adalah praktek jahat antara penyelenggara dengan kontestan untuk memuluskan jalan para pemburu kekuasaan dengan cara manipulasi atau kecurangan. Sepanjang januari-februari 2018, Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP) mencatat, 76 pelanggaran pemilu yang melibatkaan 163 orang penyelenggara. 37 orang di antaranya diberi sanksi peringatkan keras, 27 peringatan biasa, 3 diberhentikan sementara, 11 diberhentikan tetap, dan 3 diberhentikan dari jabatannya sebagai ketua. Kejahatan pilkada dalam kategori lain adalah black capaign, pabrikasi isu SARA dan money politics yang dilakukan pasangan calon atau tim pemenangannya.
Pilkada yang ternoda juga produk dari tampilnya para politisi medioker yang pandai bersandiwara melalui kemasan teori dramaturgi demi mempertahankan atau meraih kekuasaan, itu soalnya. Seakan mereka bekerja lewat modulasi Nicola Machiavelli (1469-1527) atau anjuran Verba dan Petrocik (1998) yang mengatakan “dalam masyarakat yang heterogen para politisi harus lebih lihai bermain sandiwara”.
Kondisi ini diperparah lagi dengan kemahiran politisi mengucapkan janji bohong ketika musim kampanye tiba. Padahal kata Adolf Hitler (1889-1945), “dengan satu unit kamar gas, kita dapat meracuni ratusan orang, tapi dengan kebohongan, kita bisa meracuni jutaan orang”. Bayangkan jutaan pemilih di setiap pilkada diracuni oleh kebohongan para politisi.
Implikasi dari pilkada yang ternoda adalah menjamurnya pemimpin tanpa kepemimpinan dan mengeruaknya praktek korupsi di daerah. Bahaya ini telah lama di ingatkan oleh Frank Herbert (1920-1986), “kekuasaan menarik mereka yang korup. Hati-hatilah terhadap mereka yang mengejarnya”, dan diatas itu semua pastilah rakyat menjadi tumbal dari pilkada yang ternoda.
Mestinya pilkada yang kita harapkan adalah pertalian yang kuat antara perayaan kedaulatan politik rakyat secara bebas-merdeka dengan kegembiraan kontestasi gagasan, visi-misi dan program para calon yang diselenggarakan secara profesional, independen dan adil oleh penyelenggara. Barulah kita berharap pesta demokrasi dapat menjanjikan hadirnya pemimpin yang di impikan dan demokrasi yang dicita-citakan.
Pilkada tanpa noda politik
Bisakah Pilkada tanpa noda politik?. Bisa dengan syarat berhasil dan sukses melewati tiga tahap utama yaitu kandidasi, kontestasi, dan tahap akhir.
Pertama, Jika kandidasi dilakukan secara inklusif dan demokratis, maka prosesnya bermuara pada apa gagasan, visi-misi, integritasnya, dan sejauh mana popularitas, akseptabilitas, elektabilitas bakal calon yang akan diusung. Pun demikian proses penelitian administrasi dan faktual dukungan KTP bakal calon perseorangan dilakukan secara jujur dan terbuka, maka predikat bersih dari noda politik dapat diraih dan itu cukup sebagai jaminan tahap ini berhasil dan sukses.
Sebaliknya, apabila kandidasi lewat “transaksi gelap” atau meminjam istilah Gallagher 1998, melalui “kebun rahasia politik” baik dalam bentuk candidacy buying atau mahar politik, sewa perahu, dan verifikasi dukungan KTP secara tertutup oleh penyelenggara. Maju ke tahap ini menyimpan noda politik.
Lalu apakah tahapan kandidasi pilkada kloter ketiga ini berhasil dan sukses?. Jawabannya mungkin hanya berhasil dilewati dan diragukan kesuksesannya karena ternoda oleh rumor mahar politik yang sempat viral lewat serial “Lanyala vs Prabowo” dan kasus penangkapan Ketua Panwaslu dan anggota KPU Kabupaten Garut.
Kedua, Keberhasilan dan suksesnya tahap kontestasi tidak lahir dari seberapa meriahnya acara deklarasi pilkada damai, anti politik uang, kampanye hitam, dan politisasi SARA. Tapi berpijak pada tiga soal yaitu proses kandidasi yang bersih dari noda politik, kesiapan, kesanggupan dan kemampuan para penyelenggara (KPU, Bawaslu dan DKPP) untuk melaksanakan tahapan, serta didukung oleh komitmen pemilih untuk tidak permisif pada politik uang.
Apabila tiga soal itu yang diselenggarakan pada musim kampanye sekarang dan pada tahap pemungutan dan penghitungan suara pada 27 Juni 2018 nanti, barulah ada harapan kampanye bernilai pedagogis, hadirnya partisipasi pemilih rasional secara meluas, dan kepatuhan ASN, Kepala Desa beserta perangkatnya untuk tidak tergoda ikut dalam politik praktis serta kerja penyelenggara pemilihan yang proporsional. Rasanya untuk tahap ini kita menatap dengan was-was. Karena di tahap pertama menyisahkan “noda politik”.
Ketiga, Sengatan konfliknya lebih dahsyat di tahap akhir ini apabila dua tahap sebelumnya menyimpan noda politik. KPU dan Bawaslu jauh hari sudah membaca potensi konflik sangat tinggi di Pilkada serentak 2018. Karena itu, kita semua harus menjaga pesta demokrasi lokal ini dari setiap upaya calon untuk menyulut emosi pendukungnya melalui jebakan psikologi politik “kalah menang”, dengan hasutan sentimen primordialisme, klientalisme, dan etnosentrisme sambil mendorong penyelenggara pilkada tampil tanpa cacat prosedural, etik dan hukum.
Akhirnya, jaminan keberhasilan dan kesuksesan penyelenggaraan pilkada serentak 2018 tanpa noda politik bergantung pada tiga tahapan utama yaitu kandidasi, kontestasi dan tahap akhir yang sehat dan menggembirakan atau sebaliknya. Tentu kita tidak ingin demokrasi lokal rasa plutokrasi, yang mudah berubah menjadi mobokrasi. (***)
Saifullah Ibnu, Direktur Eksekutif Literasi Demokrasi (LIDI) Indoensia –
Wakil Ketua Umum PW GPII Jakarta Raya