Tuliisan Prof., Mahfud MD tentang “Dominasi Kaum Demagog” tahun 1997 di Majalah GATRA silam masih kontekstual. Demagog adalah agitator-penipu yang seakan-akan memperjuangkan rakyat padahal semua itu dilakukan demi kekuasaan untuk dirinya. Demagog biasa menipu rakyat dengan janji-janji manis agar dipilih, tapi kalau sudah terpilih tak peduli lagi pada rakyat; bahkan dengan kedudukan politiknya sering mengatasnamakan rakyat untuk mengeruk keuntungan.
Ada yang beraliansi sambil berteriak mau menyelamatkan bangsa dari disintegrasi tetapi tingkah lakunya sangat destruktif bagi keselamatan bangsa dan negara. Ada yang berteriak mau memberantas korupsi, padahal dirinya disinyalir sebagai koruptor yang dengan licik dan licin membobol keuangan negara.
Banyak juga tokoh partai yang berpidato berapi-api, jika partainya menang dalam pemilu dan menguasai kursi parlemen, maka negara akan makmur, rakyat sejahtera. Padahal banyak yang tahu pemidato itu selalu melakukan perselingkuhan politik dan mencampakkan idealisme partainya untuk kepentingan pribadinya. Seperti itulah tingkah laku demagog yang oleh Aristoteles disebut sebagai ancaman berbahaya bagi demokrasi (Mahfud: 1997).
Golongan ini rupanya sangat terorganisir, memiliki akses senjata dan kekuasaan, yang mereka lakukan adalah seakan-akan memperjuangkan rakyat padahal semua itu dilakukan hanya demi kekuasaan dan untuk melindungi kepentingan dirinya. Demagog berasal dari beragam profesi; politisi, pejabat, pengusaha, penegak hukum, akademisi, bahkan ulama (agamawan).
Demagog vs Pedagog Pemilu 2019
Roky Gerung menilai bahwa proses demokrasi yang faktual itu sangat di pengaruhi dan dikendalikan oleh opini publik. “Opini publik itu perlu supaya ada force of the better argument (kompetisi argumen). Jadi dalam demokrasi, kebijakan publik harus dihasilkan dari rasionalitas opini. Opini disebut rasional bila bisa diperdebatkan, dipertengkarkan secara publik. Kalau dia tak bisa dipertengkarkan, dia menjadi doktrin”.
Hari ini ada pergeseran yang tidak otentik dalam proses demokrasi, Roky Gerung menyebutnya sebagai buzzerocracy. “Demokrasi yang dikuasai buzzer, kita break down, buzzer itu penting. Buat apa? Buat menyusur opini publik”. Roky membedakan buzzer menjadi dua, “buzzer yang isinya orang, ada yang isinya mesin. Buzzer yang isinya mesin, dia cuma mengulang-ulang sesuatu yang belum pernah diverifikasi. Kalau orang, kita bisa debat dengan dia. Tapi kalo buzzer-nya adalah mesin kita cuma dengar sesuatu yang sifatnya demagogi (eksploitasi emosi untuk fanatisme politik, red.). Jadi dia membual aja”.
Padahal politik harus diasuh secara pedagogis (sesuatu yang sifatnya pembelajaran, red.). Itu bedanya. Mesti ada percakapan argumentatif dalam politik. Buzzer tidak menginginkan itu. Jadi kita bedakan dulu antara buzzer yang isinya mesin dan isinya orang.
Kalau saya jadi seorang demagog, saya harus menganggap di depan saya itu adalah orang bodoh. Sehingga saya bisa bualin aja. Kalau saya jadi seorang pedagog, saya mesti anggap di depan saya adalah lawan bicara yang rasional.
Buzzer mengambil sikap pertama. Dia anggap yang sana demagog, maka dia siram itu dengan informasi satu arah itu.
Tapi seharusnya kalau itu asumsinya, efeknya ada pada elektabilitas. Sekarang kita lihat polling dari pollster. Lho, Ahok misalnya, justru enggak bertambah. Padahal buzzer-nya menyebar ke mana-mana. Berarti ada yang salah ‘kan. Secara ilmiah saja bisa terlihat bahwa ada kesalahan penguasaan opini publik. Jadi itu pertanda pertama.
Terlepas dari kita suka apa tidak suka dari keadaan hari ini, kalau kita bandingkan kelihatan ada inkonsistensi. Buzzer-nya bertambah, elektabilitasnya menurun. Pasti ada sesuatu yang salah di metode buzzer itu. Buzzer itu justru dampaknya negatif.
Ini ‘kan ruang yang bising oleh noise. Noise lebih banyak daripada voice. Politik itu selalu punya semacam mekanisme untuk daur ulang, sama seperti ekonomi itu. Enggak ada ekonomi yang bagus terus, dia ada siklus. Jatuh, bangun. Sekarang kita ada pada tahap noise. Mungkin nanti setelah dua kali, setelah 10 tahun, termasuk belajar dari Jakarta, baru orang sadar, “ya, kita perlu voice.”
Pikiran publik jadi lain tentang demokrasi. Demokrasi harusnya adalah force of the better argument. Demokrasi itu adalah kompetisi argumen.
Salahnya siapa? Ya negara yang salah, pemerintah yang salah. Karena dia sibuk dengan kampanye infrastruktur, sementara infrastruktur akal sehat enggak dibangun. Jadi public reason enggak berkembang, sehingga orang masuk ke dalam kecurigaan satu sama lain. Warga negara saling curiga. Negara gagal mengaktifkan pembicaraan demokrasi karena sibuk dengan branding soal pembangunan infrastruktur segala macam. Itu yang terjadi.
Inti dari demokrasi adalah partai. Partai itu mesti ada kurikulum civic education. Mendidik publik untuk berwarga negara. Supaya tidak terjadi politik identitas. Karena partainya gagal, peran-peran yang seharusnya dijalankan oleh partai itu diambil alih oleh mereka yang enggak ngertidemokrasi.
Jadi salahnya ada di mekanisme yang kacau dalam manajemen demokrasi negara. Termasuk partai, termasuk presiden, kabinet, sama. Eksesnya sekarang kita lihat buzzerocracy. Itu saja. Bagi saya enggak ada keterangan lain.