Jakarta – Direktur Merah Putih Stratejik Institut (MPSI), Noor Azhari menilai pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menegaskan TNI-Polri harus siap mengorbankan jiwa raga demi kepentingan bangsa dan negara masih bersifat normatif.
Menurutnya, kesetiaan pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan sumpah mutlak bagi setiap prajurit dan aparat kepolisian.
“Sebagai abdi negara, mereka harus setia pada Republik yang diperjuangkan para pendiri bangsa, bukan pada oligarki feodal yang justru menjadi musuh nilai-nilai Republik.
Sebagai Chief Commander atau Panglima Tertinggi TNI dan Polri, sudah saatnya Prabowo Subianto menerapkan strategi dan taktik nyata dalam kepemimpinannya”, katanya.
Ia menegaskan, seluruh kebijakan negara dan pemerintahan kini berada di tangan Presiden. Sehingga Presiden Prabowo memiliki kewenangan penuh untuk melakukan reformasi di tubuh institusi pertahanan dan keamanan untuk menjadi lebih baik”, tegasnya.
Lanjutnya, jika kita mencermati hasil survei berkala media nasional (Litbang Kompas, 24/1/2025), terkait citra lembaga negara, terlihat bahwa TNI masih menjadi institusi dengan tingkat kepercayaan tertinggi di masyarakat, yakni sebesar 94,2 persen.
“Sementara itu, disusul Bawaslu meraih tingkat kepercayaan 81,6 persen, diikuti oleh KPU dengan 80,3 persen, DPD RI 73,6 persen, dan KPK RI 72,6 persen. Sebaliknya, citra Polri hanya mencapai 65,7 persen, bahkan berada di bawah DPR RI yang mendapat penilaian positif sebesar 67 persen”, ujarnya.
Dari data tersebut, Noor menilai, terlihat jelas adanya ketimpangan profesionalisme antara TNI dan Polri.
“Prabowo Subianto tampaknya mendorong ‘hibernasi’ dan mental patriotisme di dalam institusi negara. Namun, langkah tersebut masih kurang efektif. Presiden harus menggunakan kuasanya dengan mengganti pimpinan TNI dan Polri. Perubahan ini bukan sekadar penyegaran simbolik, melainkan harus menempatkan sosok-sosok yang memiliki semangat patriotisme sejalan dengan visi Prabowo Subianto”, tandasnya.
Apalagi, menurutnya anggaran pertahanan dan keamanan mengalami peningkatan signifikan, baik dalam alokasi modernisasi alutsista maupun operasional kelembagaan.
“Dengan demikian, pengangkatan Panglima TNI, Kapolri, dan pimpinan institusi negara lainnya harus sejalan dengan frekuensi kepemimpinan Presiden demi memastikan efektivitas kebijakan pertahanan dan keamanan nasional”, tegasnya.
MPSI menekankan kembali pentingnya reformasi kelembagaan untuk mengembalikan sistem negara hukum yang berdaulat dan menjaga kepercayaan publik dalam koridor demokrasi.
“Transparansi dan akuntabilitas kelembagaan harus menjadi prioritas, sehingga dampaknya dapat dirasakan langsung oleh seluruh rakyat Indonesia”, katanya.
Baginya, demokrasi memberikan ruang bagi kolaborasi dan koalisi berbagai kepentingan. Namun, sebagai negara hukum, kekuatan politik dan kekuasaan tetap harus tunduk pada batasan kedaulatan rakyat demi kepentingan nasional.
“Perjalanan panjang transformasi republik ini harus bertujuan untuk kemakmuran seluruh rakyat, bukan hanya segelintir elite yang menikmati kekayaan sumber daya alam bangsa”, ujarnya.
Selain itu, Ia menekankan kepada Presiden Prabowo juga harus mengevaluasi jajaran staf terdekatnya, terutama mereka yang berasal dari kalangan prajurit TNI-Polri dengan harta kekayaan fantastis.
“Tidak boleh ada contoh buruk di mana prajurit muda, yang seharusnya mengabdi pada negara, justru memiliki kekayaan hingga Rp15 miliar dalam usia yang masih relatif muda. Jangan sampai mentalitas ini merusak integritas institusi TNI-Polri, di mana anggotanya hanya bergabung demi menjadi kaya dan berkuasa, bukan untuk mengabdi pada bangsa dan negara”, pungkasnya.