Tahun 2016 kita dikejutkan dengan munculnya kasus Korupsi Pembahasan Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil kasus ini merupakan skandal besar yang coba di tutupi. Hal ini sangat menarik karena di publik perhatiannya berubah menjadi korupsi Rp 2 milliar kepada sanusi, sementara yang Ratusan Trillyuan rupiah publik tidak tertarik.
Jika di telaah lebih mendalam proyek reklamasi merupakan rangkaian panjang “ruang gelap” bercumbunya pengusaha, politisi dan kekuasaan. Ruang gelap itu mulai tersingkap terang benderang ke publik ketika terjadi kegaduhan terkait kontribusi tambahan dalam raperda. Publik melihat ada kekuatan besar “baron” yang mengatur siklus para pengusaha, politisi dan penguasa (lokal & nasional).
Kasus Reklamasi menjadi Kasus Suap
Proses perizinan dan pelaksanaan reklamasi mendahului proses pembuatan Raperda. Ingatan publik harus di luruskan, kasus reklamasi ini ada karena Gubernur DKI memberikan Izin dan pelasanaan pembuatan Fisik pulau-pulau reklamasi. Tindakan cacat hukum ini yang kemudian minta legitimasi dari Legislativ melalui Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K).
Beberapa izin yang keluar atau diterbitkan mendahului penetapan Perda, antra lain; Izin Pulau F kepada PT Jakarta Propertindo dengan SK Gubernur Nomor 2268 Tahun 2015, tanggal 22 Oktober 2015. Izin Pulau I kepada PT Jaladri Pakci dengan SK Gubernur Nomor 2269 Tahun 2015, tanggal 22 Oktober 2015, Izin Pulau K kepada PT Pembangunan Jaya Ancol dengan SK Gubernur Nomor 2485 Tahun 2015, tanggal 22 Oktober 2015; Izin Pulau G kepada PT Muara Wisesa samudra dengan SK Gubernur Nomor 2238 Tahun 2014, tanggal 22 Desember 2014.
Alasan penerbitan SK Gubernur saja rancu karena mengacu pada Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Padahal sejak 2014 sudah berlaku Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007. UU tersebut mengamanatkan kepada Pemerintah Daerah sebelum izin reklamasi dikeluarkan maka terlebih dahulu membuat Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K).
Upaya pemda DKI mendorong raperda RZWP-3-K setelah terbitnya SK Gubernur di respon Negativ oleh Legislativ. Kemudian DPRD justru lebih tertarik mendorong pembentukan Pansus atas pelanggaran izin reklamasi yang dilakukan oleh Gubernur.
Kebuntuan proses legislasi berakhir dengan oprasi tangkap tangan oleh KPK terhadap Sanusi anggota Legislativ Gerindra. Sanusi di tuntut Jaksa Penuntut Umum KPK terkait suap raperda Tataruang rencana kawasan strategis pantai utara jakarta (RTRKSP), dan tindak pidana pencucian uang.
Aktor Reklamasi
Isue yang bergulir sekarang adalah suap reklamasi terhadap anggota legislatif. Sementara aktor yang memberikan izin reklamasi dan ngotot mengajukan Raperda reklamasi (Rencana Wilayah Zonasi Pesisir dan Pulau-Pulau kecil) pantai utara Jakarta masih bermasalah dan cacat hukum adalah Ahok yang menjabat Gubernur.
Sejak oprasi tangkap tangan Sanusi pada 31 maret 2016, KPK belum masuk terkait korupsi perizinan dan pelaksanaan reklamasi. Sementara proses persidangan di pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) sudah memvonis direktur PT Agung Podomoro dan persidangan sanusi pada selasa,13/12/2016 Jaksa penuntut KPK menuntut Sanusi 10 Tahun Penjara dan tambahan mencabut hak politik selama lima tahun.
Kasus reklamasi rupanya di lokalisir pada aktor protagonis adalah eksekutif, sedangkan aktor antagoninya adalah legislatif, para pengusaha menjadi pemain latarnya. Istana melakukan intervensi dengan meresufle Menteri Koordinator Maritim dan melakukan pembenaran proses reklamasi.
Keganjilan Plot Reklamasi
Hingga penghujung tahun 2016 ini Jaksa Penuntut KPK telah berkerja menuntut dan memenjarakan Arisman sebagai direktur PT Agung Podomoro dan menuntut 10 tahun penjara Sanusi sebagai anggota DPRD DKI. Sebuah apresiasi terhadap usaha meyakinkan publik perihal kasus suap dan pencucian uang.
Pesoalan yang masih mengganjal dalam benak publik adalah persoalan dasar soal pelangaran izin yang bertentangan dengan UU. Keganjilan yang sangat jelas dari reklamasi jakarta adalah terkait payung hukum sebagai legal satanding yang kuat berupa peraturan daerah.
Pihak Gubernur, Legislativ dan pengusaha memiliki atensi, niat dan kepentingan yang hampir sama terhadap reklamasi Jakarta. Gubernur telah mengeluarkan berbagai izin terkait reklamasi namun problemnya Perdanya belum ada. Legislasiv tidak mau menjadi tukangf stemple kebijakan yang salah, pengusaha sudah keluar banyak uang untuk mengamankan kepentingan bisnisnya.
Reklamasi adalah Bingkai NKRI
Jakarta pada masa Fauzi Bowo (Periode 2008 – 2012) sebagai gubernur merujuk Keppres 1995 tentang reklamasi pantai utara jakarta di memiliki kewenangan untuk mengeluarkan surat nomor 129 tanggal 21 september 2012 dan Pergub nomor 1291 tanggal 21 september 2012. Berisi penetapan kawasan reklamasi pantai utara Jakarta. Dalam izin prinsipnya Foke mengeluarkan empat surat terkait lokasi reklamasi pulau F, G, I dan K PT Muara Wisesa Samudra disebut dalam izin prinsip lokasi reklamasi pulau G.
Pemerintah Pusat pada tanggal 6 Desember 2012 mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 122 tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan pulau-pulau kecil. Peraturan ini memberikan kewnangan kepada Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) terkait izin reklamasi di wilayah DKI yang termasuk Kawasan Strategis Nasional (KSN). Peraturan ini mengakibatkan kewenangan Gubernur DKI (Periode 2012-2017) berbeda dengan Gubernur DKI Periode sebelumnya (2008 – 2012).
Gubernur DKI Joko Widodo (2012-2014) mengeluarkan Peraturan Gubernur nomor 146 tahun 2014 tentang pedoman teknis membangun dan perizinan reklamasi dengan merujuk pada Perpres nomor 122 tahun 2012 sebagai lampiran.
Dua bulan kemudian Guberunur DKI Basuki Tjahaya Purnama (periode 2014-2016) mengeluarkan keputusan Gubernur DKI nomor 2238 tahun 2014 terkait izin reklamasi pulau G, dasar pertimbangan merujuk keputusan Gubernur Fauzi Bowo. Poin selanjunya terkait izin pelaksanaan pembuatan Fisik pulau G (reklamasi) kepada PT Muara Wisesa Samudra merujuk surat permohonan Direktur PT tanggal 6 Oktober 2014.
Sungguh ironi bagi pemerintahan dan warga DKI terkait regulasi aturan hukum reklamasi. Pemerintah Pusat membiarkan Pembangkangan terhadap UU dan Peraturan Presiden dan menghindari Peraturan Daerah secara sepihak, dengan mengorbankan pihak lain. Kita memiliki harapan tahun 2017 semua kemelut persoalan bangsa terselesaikan. Semoga skandal reklamasi pantai utara jakarta segera diusut tuntas, karena Reklamasi seharusny menjadi bingkai kuat NKRI. [nsa]