MEDIAHARAPAN.COM, Jakarta – Fatilda Hasibuan, aktivis dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengatakan, dalam pendirian perkebunan PT Perkebunan Kaltim Utama (PT PKU) di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur menggunakan sistem pecah belah masyarakat.
Hal itu diungkapkannya dalam konferensi pers bertajuk “Konflik Agraria dan Perampasan Lahan Petani di Kutai Kartanegara oleh PT Perkebunan Kaltim Utama I (Toba Sejahtera Grup) milik Luhut Binsar Pandjaitan” di Jakarta, Senin (30/01).
“Ada salah satu pola pembukaan perkebunan di Indonesia, mulai dari Sumatera Barat hingga ke Papua, biasanya dengan menggunakan pecah belah masyarakat, dan ini terjadi dalam pola pembukaan PT PKU,” ujar Fatilda.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa sistem (pecah belah) dilakukan dengan cara mendekati orang-orang yang dianggap memiliki pengaruh maupun kekuasaan di kampung tersebut, dengan harapan dapat mendukung pendirian perusahaan.
“Biasanya, orang-orang yang didekati oleh perusahaan adalah mereka yang memiliki power atau kekuasaan di kampung. Seperti kepala desa, ketua adat, preman-preman maupun orang-orang kaya. Biasanya mereka akan diambil perusahaan untuk mendukung perusahaan,” terangnya.
Orang -orang itu, lanjutnya, akan digunakan oleh perusahaan untuk menguasai lahan, kemudian akan ditawarkan dengan kesepakatan-kesepakatan.
“Tetapi dalam penelitian dan pada kenyataannya, kesepakatan-kesepakatan ini hanyalah digunakan untuk mengambil tanah, karena pada dasarnya kesepakatan-kesepakatan ini tidak akan pernah menjadi benar-benar kerja sama,” ungkapnya.
“Mungkin masyarakat tidak pernah mendapatkan apa yang disebut bagi hasil tadi itu,” lanjut Fatilda
Terakhir, Fatilda menekankan bahwa sistem pecah belah masyarakat seperti di atas ditemukan dalam pembukaan perkebunan PT PKU yang di dalamnya terdapat 10% saham milik Luhut Binsar Pandjaitan.
“Pola itu juga kami dapati terjadi dalam pembukaan PKU. Ada janji-janji bahwa akan ada kerjasama, tapi mereka tetap membuldozer lahan tanah masyarakat,” pungkasnya.
Sumber: Kiblat.Net