MEDIAHARAPAN.COM, Bogor – Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia (BKsPPI) menanggapi pelarangan penyebutan kata kafir bagi masyarakat non-islam di Indonesia.
Sebelumnya, Komisi Maudluiyah pada Munas Alim Ulama dan Konbes NU 2019 di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, Kamis (28/2), mengusulkan agar tidak menyebut kata kafir kepada masyarakat beragama non-islam.
Menurut BKsPPI diksi ‘kafir’ merupakan diksi yang sudah baku dalam syariat Islam, yang bermakna tertutupnya jiwa seseorang dari kebenaran Islam yang datang dari Allah dan Rasul-Nya.
“Diksi ini digunakan dalam ayat-ayat Al-Qur’an baik yang diturunkan di Makkah, maupun di Madinah,” kata Ketua Pimpinan Pusat BKsPPI Prof.Dr.KH.Didin Hafidhuddin, MS dalam keterangannya, Bogor (4/3/2019).
Secara makna, lanjut Kiyai Didin, setiap agama juga memiliki keyakinan ‘kafir’ yang sama terhadap siapa pun yang tidak mempercayai kebenaran agama yang dianut masing-masing, “Dan toleransi justru dibangun di atas saling menghargai iman yang memang berbeda dan tidak boleh disatukan,” ujarnya.
Menurut Kiyai Didin, umat Islam menolak paham saling mengkafirkan sesama umat Islam, namun hal ini tidak bisa menjadi justifikasi untuk menghilangkan makna kafir bagi non-Muslim yang wajib dibahas dalam ragam forum ilmiah, baik ta’lim, tabligh, khutbah jum’at, maupun di ruang-ruang pendidikan umat Islam karena menyangkut bab aqidah sebagai pondasi iman, dan karena sedikit kasus-kasus yang muncul ditujukan justru kepada Muslim, sehingga diskursus ini dipandang tidak kontekstual.
“Bangsa Indonesia dari agama mana pun terbukti dalam sejarah yang panjang, bebas untuk mencalonkan diri mereka di wilayah politik, namun Umat Islam juga memiliki panduan politik bagaimana memilih sosok Muslim yang taat, siddiq, amanah, dan profesional,”ujarnya.
Umat Islam juga tidak pernah terbiasa dan tidak pernah dibiasakan untuk menyebut kafir kepada Non-Muslim di ruang publik.
“Justru umat Islam wajib menghadirkan adab atau akhlak terbaik kepada Non-Muslim, sehingga mengangkat isu ‘kafir’ dalam forum ilmiah Bahtsul Masail dipandang tidak memiliki justifikasi yang kuat,”tuturnya
Karena, katanya lagi, terdapat hal-hal yang lebih penting untuk diprioritaskan bagi keutuhan bangsa Indonesia akhir-akhir ini seperti munculnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang dibangun di atas Naskah Akademik yang sarat bermuatan Ideologi Trans Nasional Feminisme Radikal;
Selain itu, sebagai warga negara (muwathin) Indonesia dalam perspektif kebangsaan (muwathanah), umat Islam diberikan hak untuk menggunakan hukum Islam dalam beberapa hal yang dilindungi seperti dalam masalah hukum pernikahan, pewarisan, dan sejenisnya;
“Negara tidak boleh sampai mengintervensi kandungan keyakinan pemahaman agama yang harus steril dari kepentingan politik praktis dan sesaat,” kata Kiyai Didin. (bilal)










