MEDIAHARAPAN.COM, Jakarta – Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Puan Maharani mengatakan, rencana kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bisa terealisasi Minggu pekan ini, 1 September.
Sebelumnya hanya disebutkan Presiden Joko Widodo segera meneken rancangan peraturan presiden soal kenaikan ini. Kemenkeu sempat mengatakan kenaikan iuran baru akan terealisasi 1 Januari 2020. Belum ada pernyataan khusus dari Presiden Jokowi soal kenaikan iuran ini.
Meski begitu, menurut Puan, dirinya belum menerima rancangan peraturan presiden (perpres) terkait hal itu sehingga belum bisa meneken usulan regulasi tersebut. “Segera, setelah ada di meja saya, langsung saya tanda tangan,” kata Puan seusai menggelar rapat dengan Badan Anggaran DPR di Kompleks Parlemen Senayan, kemarin (29/8) seperti dilansir Republika.
Puan juga meyakini usulan perpres kenaikan iuran BPJS Kesehatan akan disetujui Presiden Joko Widodo karena akan memberikan penguatan terhadap BPJS agar tidak defisit lagi. Selain itu, lanjut Puan, pemerintah juga akan mengkaji untuk kembali menyuntikkan dana kepada BPJS Kesehatan. “(Suntikan dana) kita lihat lagi nanti ke depan, ya harapannya defisit berkurang sehingga BPJS bisa mandiri,” kata Puan.
Pemerintah dan DPR saat rapat gabungan membahas soal tekornya anggaran BPJS Kesehatan, Selasa (27/8). Dalam rapat itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengusulkan skema kenaikan BPJS Kesehatan mencapai dua kali lipat dari iuran yang berlaku saat ini.
Iuran kelas mandiri I diusulkan naik dari Rp 80 ribu menjadi Rp 160 ribu per jiwa per bulan. Sedangkan, iuran kelas mandiri II naik dari Rp 59 ribu menjadi Rp 120 ribu per jiwa per bulan.
Iuran kelas mandiri III diusulkan setara dengan penerima bantuan iuran (PBI), yaitu Rp 42 ribu per jiwa per bulan. Jumlah ini naik Rp 16.500 dari iuran saat ini, yakni Rp 25.500 per bulan per orang. Usulan tersebut disampaikan sebagai bentuk upaya untuk mengatasi defisit yang terus melonjak.
Sri Mulyani mengatakan, defisit BPJS Kesehatan tahun ini bisa mencapai Rp 32 triliun. Tanpa kenaikan iuran ini, Menkeu pesimistis keuangan BPJS Kesehatan dapat sehat. Ia bahkan memperkirakan, BPJS Kesehatan akan kembali tekor pada 2021 dan 2022 dan pemerintah harus menalanginya lagi.
Sementara itu, pihak kementerian dan lembaga terkait saat ini disebut masih menyusun draf perpres mengenai kenaikan tarif tersebut untuk disetujui Presiden Joko Widodo. Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengatakan, usulan kenaikan sudah disetujui Presiden dan tinggal menunggu proses lanjutan untuk disahkan.
Penyusunan perpres tersebut melibatkan Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, serta BPJS Kesehatan. “Sudah (ditetapkan) dan sudah diajukan. Itu tinggal proses administrasi saja,” kata Mardiasmo saat ditemui di Kompleks Parlemen Senayan, Kamis (29/8).
Ia menegaskan, usulan kenaikan tarif tersebut telah melalui kajian dan simulasi sehingga diyakini tidak memberatkan masyarakat. Mardiasmo menyampaikan, esensi dari BPJS Kesehatan adalah asuransi sosial, di mana yang golongan kaya membantu miskin dan yang sehat membantu yang sakit. “Tidak (memberatkan) kita sudah melakukan beberapa kajian,” katanya menambahkan.
Di sisi lain, defisit BPJS Kesehatan yang sudah terjadi setiap tahun harus segera dibantu dan dibenahi. Pemerintah ingin agar pengelolaan sistem Jaminan Kesehatan Nasional dijaga secara berkelanjutan dan sistematif. BPJS Kesehatan harus berbenah.
Sementara itu, Koordinator advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai rencana pemerintah untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan kategori peserta mandiri hingga 100 persen akan membuat para peserta makin enggan membayar iuran. Akibatnya defisit keuangan BPJS Kesehatan akan makin membengkak.
Timboel mengatakan, berdasarkan data per 30 Juni 2019, dari 32 juta orang peserta BPJS Kesehatan kategori mandiri, yang membayar hanya 50,9 persennya. “Apalagi setelah terjadi kenaikan yang sangat besar itu. Pasti tunggakan iuran makin tinggi,” kata Timboel kepada Republika, Kamis (29/8).
Ia melanjutkan, kenaikan hingga dua kali lipat itu juga akan membuat peserta kategori mandiri yang saat ini terdaftar di level I dan II beralih ke level III. Tentu ini akan membuat dana iuran yang terkumpul makin sedikit.
Adapun jumlah peserta mandiri di level I, papar Timboel, mencapai 4,6 juta orang. Lalu, di level II sebanyak 6 juta orang. Sedangkan, level III berjumlah sekitar 19 juta orang. “Kelompok I dan II ini pasti akan memilih pindah ke kelas III dari pada mereka harus bayar Rp 160 ribu atau Rp 110 ribu,” ujar dia.
Dengan sejumlah risiko tunggakan iuran itu, Timboel berpendapat, rencana kenaikan itu adalah langkah kontraproduktif. Sebab, tidak akan menjawab permasalahan defisit keuangan BPJS Kesehatan. “Ini tidak menjawab defisit anggaran, malah kontraproduktif menurut saya. Artinya, Bu Sri Mulyani harus baca data bahwa nggak semua orang itu aktif membayar,” kata Timboel
Untuk mengatasi defisit keuangan itu, ia menyarankan, sebaiknya pemerintah menaikkan iuran hanya sebesar Rp 10 ribu untuk setiap kelas. Dengan syarat, kenaikan harus diiringi dengan perbaikan fasilitas. “Sehingga akan muncul kepercayaan dari masyarakat dan semua orang akan dengan senang hati untuk membayar,” ujarnya.
Sementara untuk menambal sisanya, Timboel menyarankan agar pemerintah sebaiknya fokus mengejar penambahan peserta di kategori pekerja penerima upah (PPU). Sebab, ujar dia, hingga saat ini masih terdapat 4 juta orang lagi calon peserta potensial. “Penambahan setiap 1 juta peserta kategori PPU akan memberikan dana iuran sebesar Rp 2 triliun. Sehingga akan terkumpul Rp 8 triliun nantinya,” kata Timboel. []