“Dari pada hidup bercermin bangkai, lebih baik mati berputih tulang”
Oleh: Buya Gusrizal Gazahar
Mengharapkan sikap menghormati dari seorang أهوك, tampaknya seperti meminta “sisiek ka limbek” (berharap sisik ikan lele).
Mendengarkan permohonan maaf dari أهوك bagaikan “pambujuek mampagadang tangih” (memberikan bujukan tapi semakin memperbesar tangisan).
Ringkasnya, bagi dia umat ini tak lebih dari mainan dan pelabuhan hinaan.
Al-Qur’an, ulama, agama dan umat Islam, tak ada yang selamat dari jangkauan lidah kasar dan penistaan.
Keshabaran umat Islam tidak akan pernah habis dalam menghadapi manusia penista agama ini tapi dia mungkin tidak memahami bahwa keshabaran itu akan muncul dalam beragam warna penampilan.
Shabar dalam warna kesantunan dan bahasa penghormatan masih menjadi tampilan perlawanan umat selama ini.
Tapi ingatlah !
Si penista agama akan melihat keshabaran dalam warna keteguhan di medan perjuangan dalam langkah yang tak pernah mengenal mundur ke belakang.
Keshabaran itu akan menerjang dinding kepongahan walaupun ditopang penguasa durjana yang bergelimang kezhaliman.
Ayat Allah swt berikut ini akan segera menggema ke dalam sanubari setiap muslim selama masih menyisakan sedikit keimanan dalam qalbunya:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ} [آل عمران : 200]
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan bersiap siagalah (menghadapi pertempuran) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung”. (QS. Ali ‘Imran 3:200)
Bahasa dan sikap si penista agama kepada ketua MUI (KH. Ma’ruf Amin) telah menggeser dua langkah posisi umat Islam dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.
Dua langkah sudah dilewati yaitu :
اصْبِرُوا وَصَابِرُوا
“bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu”
Dan sekarang umat Islam sudah berada pada langkah yang ketiga yaitu:
وَرَابِطُوا
“bersiap siagalah (menghadapi kemunginan terburuk)”
Semoga para penguasa negeri ini dan si penista agama yang menyerang ulama, segera menyadari bahwa bila bahasa kehormatan dan penghormatan tidak lagi bisa dipergunakan maka tuan-tuan akan melihat sikap:
“Dari pada hidup bercermin bangkai, lebih baik mati berputih tulang“










