Oleh: Everd Scor Rider Daniel
MEDIAHARAPAN.COM – Wacana pergerakan identik dengan sebuah aksi massa, motivasi memperjuangkan keinginan kolektif. Pergerakan muncul sebagai sikap kritis untuk merevolusi keadaan, ketidakadilan, atau menentang situasi yang tidak seharusnya terjadi. Pergerakan didasari arus kritikan, gugatan, yang diselenggarakan dengan atribut sebuah perubahan. Untuk mencapai perubahan atau sesuatu keinginan yang hendak diperjuangkan, sebuah pergerakan sosial (social movement) mendistribusikan perlawanan atau mobilisasi massa lewat mekanisme framming yaitu strategi dalam studi gerakan sosial yang bertujuan meyakinkan kelompok sasaran agar ikut terlibat mendukung perubahan.
Pengaruh pergerakan sosial begitu kuat dan mudah meluas dikarenakan adanya unsur kolektif, pelibatan nilai-nilai humanistik dan hak asasi manusia (human rights). Snow dan Banford memandang, gerakan sosial terletak pada sejauh mana mereka memenangkan pertempuran atas arti (Situmorang, 2007 : 10). Tuntutan-tuntutan itu menyatu, terintegrasi dalam agenda pergerakan.
Social Movement : Agenda Perlawan Masyarakat Sipil
Pergerakan sosial sesuai tujuannya adalah suatu mobilisasi wacana yang digerakan untuk kepentingan publik. Konteks publik membuka pemahaman terhadap kepentingan yang besar yaitu mewakili masyarakat sipil (civil society), sebagai suatu unsur penting dalam menentukan berdirinya negara. Masyarakat mengkontekskan keinginan pada jaminan kesempatan dari negara. Namun, harapan itu terasa buyar karena posisi dan power yang tidak memungkinkan, yang dalam pandangan John Locke, Ia mengkritisi otoritas negara tidak boleh diselenggarakan secara mutlak. Ada batas-batas yang tidak boleh dimonopoli seperti, hak atas kehidupan, kebebasan, dan kepemilikan.
Naluri dan kebebasan manusia yang secara kompleks dimonopoli, putus asa, gelisah mencari eksistensi diri yang humanis. Rakyat marginal (voice of the voiceless) terpenjara dalam wacana dan teralienasi dari keadilan sosial. Hak asasi manusia dan keadilan, adalah wacana yang selalu ingin dimenangkan dalam agenda pergerakan sosial. Menyederhanakan maksud John Locke, relasi pertentangan ada karena kegagalan distribusi sumberdaya (materi). Pada waktunya, rakyat selalu berusaha mencari sesuatu yang menjadi kebutuhan.
Dinamika pergerakan berbasis masyarakat tidak pernah berhenti, selalu bergejolak demi pengorbanan untuk memperjuangkan hak sebagai warga negara (citizens). Pemenuhan terhadap kebutuhan selalu menjadi perdebatan diskurisif dalam relasi antara negara-rakyat. Persepsi kegagalan melakat dan menjadi stigma manakala negara abai menjalankan komitmennya.
Mobilisasi perlawanan merupakan wacana yang akan selalu berkembang dalam dinamika sosial. Momentum kebangkitannya berawal ketika terjadinya tindakan eksploitasi kaum borjuis terhadap kelas proletar. Sebagaimana tesis Karl Marx bahwa kekuatan modal sebagai faktor yang memisahkan sesama manusia dalam struktur kelas sosial. Masyarakat kelas menurut Marx terbagi dua, kelas Borjuis dan kelas Proletar. Kelas Borjuis adalah penguasa modal dan produksi (kapitalis), sementara kelas Proletar adalah para pekerja (buruh). Konsep akumulasi modal memunculkan penguasaan, eksploitasi, kekerasan dan penjajahan sebagai akibat dari konsekuensi demand-supply (ada yang menguasai dan dikuasai).
Perlawanan Minoritas
Seiring eksistensinya, dimensi perlawanan kaum minoritas terus meluas dan menjadi kajian studi global. Dapat dilihat munculnya perlawanan minoritas dalam gerakan Subaltern Studies Group di India berdasarkan pandangan Gayatri Chakravorthy Spivak, sebagai suatu gerakan sosial baru berbasiskan penulisan dan penafsiran ulang sejarah orang-orang biasa (rakyat-rakyat kecil). Mereka yang bukan elite yang tidak diberi ruang untuk bicara.
Social movement telah menjadi basis perlawanan, juga arena untuk mendesain kesadaran sosial. Namun itu semua membutuhkan penguatan dengan tujuan menuntut perubahan. Rakyat dalam pandangan luas (Budi Susanto, 2005) adalah orang-orang berdaya, mempunyai kekuatan melakukan perubahan sosial terhadap diri dan lingkungannya. Aksi revolusioner menjadi basis pergerakan untuk mencapai hak-hak kehidupan dan melawan dominasi.
Buruh : voice of the voiceless
Meminjam istilah Carlos Ximenes Belo “Voice of the voiceless” (1997) mengilustrasikan ketidakberdayaan kaum minoritas yang dibungkam hak-haknya sebagai manusia. Mereka identik dengan penindasan dan alienasi.
Perjuangan buruh (kelas pekerja) terjadi di hampir seluruh negara, tidak terkecuali di Indonesia. Situasi ini terjadi akibat adanya ketidakadilan dari segi upah, eksploitasi kerja dan pelanggaran HAM.
Buruh berada di tengah fragmentasi (keterpecahan) dan dilekatkan pada stigma penindasan. Situasi demikian mendeskripsikan ketimpangan dan jurang kapasitas pada lapisan-lapisan sosial (social layers). Hak dan kehendak mereka dirampas oleh kebijakan. Tindakan eksploitasi yang secara “sengaja” dilakukan penguasa semakin menekan eksistensi buruh, kelompok kelas pekerja minoritas ini terus menjadi objek ketidakadilan.
Kaum minoritas kerap mengalami fase memilukan, ditindas atas alasan yang tidak bisa diterima. Suara perjuangan kelompok minoritas pun bergelora, mereka mencari panggung untuk melawan dominasi. Pergerakan buruh atau dikenal hari Buruh Sedunia (Mayday) pada 1 Mei, merupakan bagian dari usaha memperkuat wacana kritis melawan ketidakadilan yang terus menimpa para pekerja. Tidak ada batas akhir, dan semangat yang sama terus diperjuangkan. Buruh terus merealisasikan kehendak karena mereka merasa hak asasi manusia dan kebebasan adalah segalanya.
(Penulis merupakan Alumni Ilmu Hubungan Internasional UPN “Veteran” Yogyakarta. Saat ini sebagai Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial, Universitas Padjadjaran, Bandung).










