Oleh : Mohamad Ikhsan Tualeka*
Foto dan video dalam artikel ini adalah pemandangan yang lumrah terjadi saban pagi di Dobo, Kepulauan Aru, Provinsi Maluku. Masyarakat setempat tanpa rasa bersalah membuang sampah di pantai. Hal inilah yang menjadikan pantai dan laut di Aru makin tercemar, kotor dan tak enak dipandang.
Sebenarnya ini bukan hanya di Dobo, kejadian atau aktivitas serupa jamak terjadi dibanyak tempat di tanah air. Menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara penyumbang utama pencemaran laut di dunia.
Tentu ada banyak pihak yang bertanggung jawab akan kondisi ini, selain minimnya kesadaran masyarakat yang menjadi persoalan mendasar, kurang tanggap dan cakapnya pemerintah daerah setempat juga adalah promblem tersendiri. Semua seperti acuh dan masa bodoh
Tak ada fasilitas pembuangan sampah, kurang-nya penyuluhan atau program yang bisa meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pelestarian lingkungan adalah fakta yang menunjukan pemerintah masih abai atau tak hadir dalam menyikapi permasalan sosial semacam ini. Belum banyak yang melihat sampah plastik sebagai persoalan besar
Sehingga aksi nenek yang saya rekam dalam video ini mungkin tak layak disalahkan, karena bisa jadi si nenek adalah produk masa lalu ketika belum ada banyak sampah plastik dan masyarakat terbiasa buang sampah di laut. Pada masa itu, tentu bukan menjadi soal, karena sampah yang dibuang lebih banyak sampah organik, seperti daun, kayu dan lainnya yang gampang diurai oleh alam.

Kondisi sudah berbeda. Saat ini, plastik memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Hal ini terjadi karena proses pembuatannya yang mudah, harganya yang murah, sifatnya yang mudah dibentuk dan tahan lama, serta kegunaannya yang banyak dari mulai pembungkus permen sampai pada komponen pesawat luar angkasa.
Walaupun demikian, di balik keunggulannya, plastik memiliki efek samping yang besar bagi lingkungan karena sulitnya terurai secara alami. Menurut Keni Vidilaseris, seorang peneliti di Departemen Biokimia, Universitas Helsinki, diperkirakan atau dibutuhkan waktu sekitar 500 sampai 1.000 tahun agar plastik bisa terurai di alam.
Mengapa demikian? Hal ini karena sebagian besar plastik dibuat dari minyak bumi, bahan yang sama yang digunakan untuk membuat bensin dan solar. Plastik merupakan senyawa organik yang terdiri dari rantai atom karbon panjang berulang.
Rantai panjang ini disebut dengan polimer dan unit terkecil dari polimer ini disebut monomer. Contoh monomer pada plastik adalah propilena. Propilena berikatan satu sama lain membentuk rantai panjang yang disebut polipropilena.
Sebetulnya, nasi yang kita makan juga merupakan polimer. Begitu juga dengan daun dan kayu. Mereka semua adalah polimer dari gula, tetapi cara molekul gula-nya berikatan membentuk polimer pada nasi berbeda dengan pada kayu.
Walaupun plastik, nasi, dan kayu sama-sama polimer, nasi dan kayu mudah terurai di alam sedangkan plastik tidak. Hal ini terjadi karena nasi bisa dimakan oleh bakteri dan makhluk hidup lainnya. Menggunakan alat pemotong yang dikenal sebagai enzim, bakteri dan makhluk hidup lainnya bisa memotong-motong polimer nasi sehingga terurai menjadi monomer gula-nya.
Sedangkan untuk plastik hampir tidak ada bakteri yang memiliki enzim yang mampu memotong-motong polimernya. Penguraian plastik di alam terjadi melalui radiasi sinar Matahari, panas, kelembaban, dan tekanan di dalam Bumi yang berlangsung sangat lama.
Tidak hanya berdampak terhadap kerusakan dan pencemaran lingkungan, dalam sejumlah penelitian terbaru, terungkap bahwa biota laut seperti ikan yang memakan plastik, kemudian ikan-ikan itu dikonsumsi manusia, dapat menyebabkan terjadi mutasi ke tubuh, yang akan berdampak dan mempengaruhi genetika manusia.
Ini adalah gambaran yang jelas kepada kita, betapa sampah plastik menjadi ancaman serius bagi ekologi, lingkungan hidup dan masa depan generasi. Sudah saatnya kita maju dan berdiri paling depan untuk mengajak dan memberikan edukasi kepada masyarakat, untuk tidak lagi buang sampah sembarangan khususnya sampah plastik. Kita harus bisa menjadi yang bagian dari arus besar guna menanggulangi dan mencegah terjadinya bencana yang lebih serius lagi.
Pemerintah, khususnya yang ada di daerah juga harus didorong untuk bersungguh-sungguh memperhatikan persoalan sampah plastik. Fasilitas seperti tong sampah dan mekanisme daur ulang sampah plastik juga mesti segera diadakan, jika tidak, lambat laun ‘surga’ dan alam yang indah seperti di Kepulauan Aru akan rusak dan bahkan menjadi ‘neraka’ bagi ekosistemnya, juga akan lahir generasi yang cacat akibat mutasi genetik.
*Penulis adalah Ketua Umum Empower Youth Indonesia (EYI)