MEDIAHARAPAN.COM, Jakarta (26/03/19)
Metamorfosis pola trasnporatsi masal di kawasan metropolitan senantiasa dinamis, ada yang hilang dan ada yang muncul. Pelayanan publik terkait mobilisasi warga menjadi kebutuhan penting, semakin variatif pilihan warga untuk mengakses lokasi-lokasi strategis dan hemat, ada kepentingan pragmatis dan ekonomis warga metropolitan dalam bertranportasi. Peresmian moda raya terpadu (MRT) milik pemprov DKI Jakarta menndakan dan Lintas Raya Terpadu (LRT) merupakan era baru tansportasi publik berbasis rel di dalam kota.
kedepan kawasan Jabodetabek diharpkan terhubung dengan pembangunan proyek Moda Raya Terpadu (MRT) dan Lintas Rel Terpadu (LRT). Persamaan keduanya adalah menggunakan rel kereta dengan lebar 1.067 mm, lalu apakah perbedaannya?
MRT memiliki 6 (enam) rangkaian gerbong, setiap rangakian memiliki kapasitas berdaya tampung 1950 penumpang, sistem kemudinya di kendalikan oleh Masinis, produsen MRT berasal dari perusahaan Nippon Sharyo Jepang. Jarak antar kereta pada jam sibuk 5 (lima) menit, Perlintasan yang digunakan layang dan bawah tanah,jenis gelagar jalur layang adalahbox girder, kecepatan masksimal untuk lintasan layang 80 km/jam, sedangkan untuk lintasan bawah tanah 100 Km/jam. Sinyal yang digunakan memakai sistem CBTC, koridor MRT terdapat 2 (dua) buah, tarif kisaran Rp 8500 – Rp 12.500.
sementara untuk LRT memiliki 2 – 4 rangkaian gerbong, kapsaitas rangkaian hanya 600 penumpang, sistem kemudi tanpa menggunakan masinis, produsen LRT adalah PT INKA Indonesia. Jarak antar kereta 3 (tiga) menit, perlintasan yang digunakan layang, jenis gelagar jalur layang Box girder dan U shaped, kecepatan maksimal 100 km/jam. Sinyal menggunakan sistem Moving Blok CBTC, memiliki 7 (tujuh) koridor, tarif antara Rp 5000 – Rp 10,000 (antara)