Oleh: Yons Achmad
(Kolumnis, tinggal di Depok)
Lelaki itu, duduk tenang membaca kitab Sirah Nabawiyah (Sejarah Kenabian). Memang kitab terjemahan saja, tak jadi soal. Buah karya Syekh Musthafa as-Siba’i. Seorang intelektual, akademisi, pejuang, serta politikus andal dari Suriah. Karier akademisnya cemerlang. Ia pernah menjadi dekan Fakultas fikih Islam dan Sekolah Hukum di Universitas Damaskus pada 1940. Sedangkan dibidang politik, pada 1945 sampai 1961 ia adalah tokoh utama Ikhwanul Muslimin (IM) Suriah.
Ia, lelaki itu, membayangkan sekian tahun lalu, seperti yang tersebut dalam sebuah Kitab Sirah yang dibacanya. Bagaimana Rasulullah duduk melingkar bersama para sahabat. Beberapa sahabat berkata kepada Rasulullah “Ceritakan kepada kami tentang dirimu wahai Rasulullah. Kemudian, Rasulullah bersabda:
“Ya, Aku adalah doa Ibrahim dan berita gembira saudaraku Isa bin Maryam. Ketika ibuku mengandungku, ia melihat sinar ke luar dari perutnya. Dan karena sinar tersebut istana-istana Syam menjadi bercahaya…”. Para sahabat pun duduk terkesima mendengarkan ceritanya.
Begitu juga, ketika Rasulullah bercerita tentang “bintang-bintang”. Semua khusuk mendengarkan. Tentu, ada dialog. Dan, Rasulullah menjawab pertanyaan-pertanyaan para sahabat tuntas saat itu.
Kini, umat Muhammad, setelah sekian lama beliau wafat, ketika ada beragam masalah menyelimuti, kepada siapa bertanya, kepada siapa jawaban-jawaban itu bakal didapatnya?
Zaman kiwari, banyak orang mencari jawaban melalui google dan medsos. Entah Twitter (X), Facebook, Youtube, Instagram, bahkan memintai bantuan AI atau Chat GPT. Boleh saja. Tapi, rimba raya digital menawarkan begitu banyak ragam jawaban dari siapapun. Lantas, siapa dan sumber mana yang bisa dipercaya?
Kabar kurang enaknya, era sekarang seperti kata Tom Nichols dalam bukunya “The Death of Expertise” dikenal sebagai era “Matinya Kepakaran”. Semua orang bebas berbicara, semua orang bebas berkata apa saja. Pertanyaan sederhana, dibelantara digital yang liar ini, apakah kita bisa benar-benar menemukan sosok “Gurunda”, atau kita malah lebih percaya pada “Guru Gemblung” yang tak jelas arah bicaranya?
Gurunda. Kalau engkau cari maknanya di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memang belum ditemukan. Tapi, artikan saja beliau sosok yang punya ilmu mencukupi, atau malah boleh dibilang “Maha Guru” yang ilmu-ilmunya bisa diteladani karena memang kapasitasnya mumpuni. Bukan “Guru Gemblung” yang ngoceh bicara apa saja. Yang penting asal viral dan “Asal Beda”.
Sungguh, demi keselamatan dunia akhirat, tentu kita perlu menemukan sosok “Gurunda” ini. Beliau yang tak lelah berikan wejangan dengan ilmu dan kebajikan. Beliau yang yang tak hanya ajarkan “Kebenaran” tapi juga “Kepeneran”.
Beliau, anggap saja bukan sekadar “Guru Spiritual” tapi “Guru Kehidupan”. Mungkin, beliau bahkan lebih muda dari usia kita. Tapi, karena kapasitas ilmu dan agama yang dipunya. Dengan Al-Quran dan teladan kenabian yang selalu menjadi rujukan. Menjadikan kita setia duduk bersama.
Merawat kebaikan bersama. Baik Diri, keluarga dan sesama. “Gurunda”: Adakah engkau sudah menemukannya? []