MEDIAHARAPAN.COM, Den Haque – Komunitas Rohingya pada Kamis (27/6) menyerukan digelarnya penyelidikan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) terhadap kejahatan kemanusiaan oleh Myanmar, setelah jaksa penuntut ICC mengumumkan niatnya untuk mengajukan permintaan penyelidikan pengusiran Muslim Rohingya.
ICC mengatakan bahwa pihaknya menugaskan panel tiga hakim untuk mendengarkan permintaan jaksa penuntut Fatou Bensouda agar membuka penyelidikan terhadap deportasi Rohingya dari Myanmar.
Menanggapi langkah ICC, ketua Dewan Rohingya Eropa, Dr. Hla Kyaw mengatakan kepada Anadolu Agency bahwa “ICC memiliki yurisdiksi [untuk menyelidiki] kejahatan ini karena Bangladesh adalah anggota ICC” bahkan jika Myanmar bukan anggota dari ICC.
Pernyataan Kyaw muncul setelah Bensouda mengaku akan meminta izin hakim ICC untuk menyelidiki kejahatan yang memiliki “setidaknya satu unsur” di Bangladesh.
Menjuluki langkah ICC sebagai “langkah besar” untuk membawa keadilan bagi para korban kekejaman Myanmar di Rohingya, Kyaw mengkritik pengadilan karena gerakannya lambat dalam memenuhi tanggung jawabnya.
“Kami ingin melihat ICC memenuhi tanggung jawabnya secepat mungkin, sehingga para jenderal Myanmar yang bertanggung jawab atas kejahatan mendapatkan pesan bahwa mereka akan dihukum,” katanya.
Jika dikabulkan, ICC akan menjadi pengadilan internasional pertama melakukan penyelidikan kekejaman terhadap minoritas Muslim Rohingya di Myanmar yang mayoritas penduduknya beragama Buddha.
Kyaw mengatakan bahwa Myanmar, dalam tanggapan yang diharapkan, “telah menolak keputusan pengadilan”.
“Daftar panjang kekejaman militer Myanmar yang terjadi semata-mata di wilayahnya termasuk genosida dan kejahatan perang menuntut rujukan cepat Dewan Keamanan PBB ke ICC. Hanya dengan demikian keadilan penuh bagi para korban dapat tercapai, ”kata pembela hak tersebut.
‘Tidak Ada Jalan Keluar’ bagi Kejahatan Myanmar
Koordinator Koalisi Rohingya Merdeka, Nay San Lwin mengatakan bahwa karena Myanmar bukan merupakan penandatangan Statuta Roma dari Pengadilan Kriminal Internasional, “kami membutuhkan rujukan dari UNSC”.
“Tapi sayangnya, DK PBB sudah lama mati. PBB perlu menghapuskan sistem veto yang mendukung impunitas, ”katanya.
“Terlepas dari rujukan UNSC, ICC masih dapat melanjutkan, karena jelas bahwa sekitar 750.000 Rohingya dideportasi secara paksa ke Bangladesh, negara penandatangan ICC,” tambahnya.
“Myanmar tidak dapat melarikan diri karena kejahatan ini, bahkan walau bukan penandatangan,” katanya.
Maung Zarni, seorang rekan dari Pusat Dokumentasi Genosida di Kamboja dan koordinator Burma dari Koalisi Rohingya Merdeka, mengatakan ia yakin “penyelidikan penuh akan dilakukan”.
“Itu karena, semata-mata jenis, kualitas dan volume bukti yang dapat diterima secara hukum sangat besar bagi setiap jaksa penuntut untuk melihat ke seluruh sembilan halaman, yaitu bertujuan untuk menuju ke persidangan penuh, penyelidikan pasca-penuh,” katanya menambahkan.
Menurut Amnesty International, lebih dari 750.000 pengungsi Rohingya, kebanyakan wanita dan anak-anak, melarikan diri dari Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan Myanmar melancarkan penumpasan terhadap komunitas Muslim minoritas pada Agustus 2017.
Sejak 25 Agustus 2017, hampir 24.000 Muslim Rohingya telah dibunuh oleh pasukan negara Myanmar, menurut sebuah laporan oleh Ontario International Development Agency (OIDA).
Sekitar 18.000 perempuan dan gadis Rohingya diperkosa oleh tentara dan polisi Myanmar dan lebih dari 115.000 rumah Rohingya dibakar serta 113.000 lainnya dirusak, tambahnya. (Anadolu/bilal)







