Oleh : Nadeem
Jika melihat aksi kemarin dan kemarin lusa yang dilakukan oleh mahasiswa di depan gedung DPR/MPR dan di berbagai daerah di Indonesia, tentang penolakan beberapa rancangan undang-undang (RUU) yang digagas oleh pemerintah (dalam hal ini Presiden) dengan DPR, seolah rakyat Indonesia diajak untuk mengenang kembali, ‘rendesvous’ dengan apa yang terjadi di tahun 1998.
Meski eskalasinya berbeda, namun ada persamaan kondisi dimana aksi ‘heroik’ mahasiswa tampak begitu mirip ‘militansi’nya dengan apa yang terjadi di depan gedung DPR/MPR bulan Mei 1998, saat penurunan Soeharto
Namun begitu, ada perbedaan yang unik yang terjadi dalam aksi mahasiswa 2019 ini dibandingkan dengan tahun 1998. Aksi mahasiswa kali ini mendapat tambahan kekuatan dari kelompok pelajar sekolah, yang menamakan diri mereka anak STM (entah kenapa mereka ogah disebut SMK)
Anak-anak STM yang hadir dengan dengan bermacam inisial: XTM, XVM, dan lain-lain ini hadir dengan semangat membawa atribut bendera merah putih yang dikibarkan. Anak-anak STM ini tidak hanya menonton kakak-kakak mereka menyampaikan aspirasi di depan gedung DPR/MPR. Tetapi mereka juga ikut meneriakkan yel-yel khas mahasiswa saat melakukan aksi demonstrasi. Selain itu, anak-anak STM ini juga menunjukkan skill mereka saat tawuran ketika berhadapan dengan aparat.
Apakah ini fenomena baru dalam aksi-aksi demonstrasi saat ini? Apa yang ada di dalam pikiran anak-anak STM ini sehingga mereka ikut berdemo? Entahlah. Namun kehadiran dan militansi anak-anak STM ini begitu nyata. Kita hanya bisa menebak-nebaknya saja.
Mungkin, saat mereka melihat kakak-kakak mahasiswa yang ditekan, dikejar, ditembaki gas air mata, dipukul dan dihajar dengan pentungan hingga pingsan –bahkan sampai ada yang koma, salah satunya mahasiswa Universitas Al Azhar, Faisal Amir, yang harus dirawat intens di rumah sakit. Sehingga dalam benak mereka timbul rasa kasihan dan semangat solidaritas yang tinggi sebagai sesama anak bangsa.
Atau, ada dorongan adrenaline yang lebih saat melihat aksi ‘heroik’ kakak-kakak mahasiswa yang terlihat berani dan ‘macho’ saat berhadapan dengan aparat ketika terjadi gesekan dan bentrokan. Sehingga merangsang mereka untuk ikut demo.
Meskipun bukan faktor pasti sebagai penyebab (namanya juga mungkin), namun kedua kemungkinan tersebut sepertinya melandasi keinginan anak-anak STM ini hadir di saat demo mahasiswa.
Keinginan yang mengesampingkan usia dan status mereka yang masih pelajar, bukan mahasiswa. Apa harus jadi mahasiswa dulu agar bisa ikut demo? Musti nunggu berapa tahun lagi agar bisa merasakan keseruan dan ketegangan aksi demo, padahal saat ini ada kesempatan? Kasian liat kakak-kakak mahasiswa yang dikejar-kejar dan dihajar aparat, sementara kita cuman nonton. padahal sebenarnya kita (anak-anak STM) bisa bantu. Mungkin pikiran-pikiran seperti itu yang berkecamuk di kepala anak-anak STM. Lagi-lagi mungkin.
Maka, bisa kita saksikan hari ini dan kemarin, dimana anak-anak STM ini hadir mewarnai aksi demo mahasiswa di depan gedung DPR/MPR. Kehadiran yang tak disangka-sangka oleh siapapun. Kehadiran yang diawali dengan salam sapa yang terdengar ‘unyu’ di telinga mahasiswa: “maaf kakak kami telat banget, musti sekolah dulu tadi.”
Satu hal yang musti kita ketahui dari kehadiran anak-anak STM dalam aksi demo kali ini. Bahwasannya, sekali mereka hadir, maka selanjutnya kehadirannya tidak akan terbendung. Selain itu ada jiwa yang musti kita pahami dari anak-anak STM ini, yakni: tidak ada kamus jera dalam diri mereka. Mereka tidak punya kapok!
Di sisi lain, munculnya anak-anak STM yang terlihat kompak, sinergis, dan seolah memiliki strategi dalam bergerak, memunculkan banyak dugaan bahwa anak-anak STM ini memang digerakkan atau ada yang menggerakkan. Benarkah demikian?
hey, jangan lupa. Anak-anak STM ini telah terbiasa tawuran. Dan itu rutin dilakukan. Tiap minggu, tiap bulan, tiap kesempatan liburan, dan setiap generasi pelajar yang bersekolah di STM. Artinya, mereka telah ‘terlatih’ untuk bentrok, untuk berstrategi dan menghitung kemampuan lawan dalam setiap aksi tawuran. Mereka telah terbiasa berkoordinasi dengan kelompok mereka, pun juga dengan lawan tawuran mereka, tentang lokasi dan waktu tawuran, untuk mengecoh pihak sekolah maupun pihak aparat keamanan (polisi) agar tawuran yang telah mereka ‘agenda’kan tidak terganggu.
Dalam berkoordinasi, anak-anak STM ini ini punya jaringan khusus dengan sekolah-sekolah yang lain. Jaringan yang menggunakan media sosial dan aplikasi WhatsApp sebagai sarana berkomunikasi. Mereka biasanya terkumpul dalam grup-grup di medsos dan WhatsApp.
Komunikasi yang dilakukan secara tertutup dengan menggunakan bahasa-bahasa ‘slang” sebagai sandi dan kode yang terkesan ‘alay’. Hanya mereka dan kelompoknya yang paham.
Bisa jadi, melalui jaringan ini mereka berkoordinasi untuk ikut hadir dalam aksi demo mahasiswa di depan gedung DPR/MPR. Ingat, anak-anak STM ini sangat aktif berkomunikasi, dalam hal apapun, terutama hal-hal yang seru dan menantang, yang sanggup memacu adrenaline mereka. Sebagai ajang adu nyali. Dalam hal ini, berhadapan dengan aparat Pasukan Anti Huru-Hara (PHH) dengan peralatan lengkap anti huru-haranya merupakan hal yang menantang. Selain itu, mereka mengganggap apa yang diaspirasikan oleh kesatuan mahasiswa dari berbagai kampus di Indonesia di depan gedung DPR tersebut adalah perjuangan untuk menyampaikan aspirasi rakyat dan patut didukung.
Untuk itu, seolah ada kesepakatan bersama dan iktikad untuk bersatu dari anak-anak STM yang selama ini berseteru (lawan tawuran) untuk ikut serta dalam kegiatan yang lebih menantang dengan membantu kakak-kaka mahasiswa yang tengah berdemonstrasi. Seolah mereka mengatakan: Lupakan dulu tawuran, kita demo aja lebih seru. Mumpung ada kesempatan.
Lagi-lagi, itu hanya kemungkinan. Sekedar tebak-tebakan.
Meski begitu, apapun pandangan masyarakat terhadap kehadiran anak-anak STM dalam aksi demo kali ini, yang jelas anak-anak STM ini tengah mencoba memahat sejarah untuk diri mereka sendiri. Anak-anak STM yang biasa termarjinalkan dalam pandangan masyarakat karena ‘kebandelan’nya, mencoba menjadi bermanfaat dengan membantu kakak-kakak mahasiswa mereka. Dalam pikiran dan benak mereka, mereka mencoba berguna bagi bangsa. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka bisa menjadi hero dari pandangan zero oleh masyarakat.
Terlepas dari apa yang terjadi hari ini, dimana mereka mencoba nekat melakukan aksi-aksi sendiri tanpa kakak-kakak mahasiswanya, tujuan aksi yang masih belum jelas dari anak-anak STM ini, namun kehadirannya telah menjadi fenomena saat ini.
Memang, di setiap zaman ada perubahan. Di setiap perubahan terselip fenomena dan keunikan. Jika dulu kekuasaan Soeharto ditumbangkan oleh anak-anak mahasiswa, mungkinkah kekuasaan Jokowi kali ini ditumbangkan oleh anak-anak STM?
Wallahua’lam bisshowab
*Penulis adalah mantan marbot masjid