Oleh: Agus Yuliawan
(Direktur Eksekutif Induk Baitul Tamwil Muhammadiyah)
MEDIAHARAPAN.COM – Pakar marketing dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Rhenald Kasali, dalam kajiannya terkait perkembangan bisnis melontarkan isu tentang disruption dalam beberapa tahun terakhir ini. Sebenarnya hal itu adalah sebuah otokritik terhadap praktek-praktek berbisnis yang terlalu usang dan sangat konvensional dilakukan oleh para pelaku bisnis saat ini. Apalagi dengan perubahan peradaban manusia dengan disertai perkembangan kemajuan teknologi, pelaku bisnis harus berubah. Jika tidak. Bisnis akan ditelan dengan tsunami perubahan.
Istilah disruption, sebenarnya Rhenald Kasali bukan salah satu tokoh pertama kali yang menyampaikan ide dan gagasan ini. Sebelumnya ada istilah disruptive innovation dicetuskan pertama kali oleh Clayton M. Christensen dan Joseph Bower pada artikel “Disruptive Technologies: Catching the Wave” di jurnal Harvard Business Review (1995).
Artikel tersebut sebenarnya ditujukan untuk para eksekutif yang menentukan pendanaan dan pembelian disuatu perusahaan berkaitan dengan pendapatan perusahaan dimasa depan. Kemudian pada bukunya “The Innovator’s Dilemma“, Christensen memperkenalkan model Disruptive Inovasi (The Disruptive Innovation Model). Dimana kemampuan pelanggan untuk memanfaatkan sesuatu yang baru dalam satu lini.
Dimana lini terendah adalah pelanggan yang cepat puas dan yang tertinggi digambarkan sebagai pelanggan yang menuntut. Distribusi pelanggan ini yang secara median nya bisa diambil sebagai garis putus-putus untuk menerapkan teknologi baru.
Kembali pada Rhenald Kasali, disruption terjadi akibat perubahan cara-cara berbisnis yang dulunya sangat menekankan owning (kepemilikan) menjadi sharing (saling berbagi peran, kolaborasi resources).
Jadi kalau dulu semua perlu dimiliki sendiri, dikuasai sendiri, sekarang tidak lagi. Sekarang kalau bisa justru saling berbagi peran. Atau, kalau dulu semuanya ingin dikerjakan sendiri, pada era disruption tidak lagi seperti itu. Sekarang eranya kita bekerja bersama-sama, kolaborasi, berotong royong.
Disruption tak hanya terjadi pada dunia bisnis digital saja, disruption juga terjadi di lembaga keuangan, seperti yang terjadi di kantor pusat Pegadaian di jln Kramat Raya-Senen-Jakarta. Kita bisa menyaksikan terjadi elaborasi antara lembaga keuangan dengan kedai coffe bernama the Gade Coffe & Gold. Dengan disruption inilah maka menjadikan market baru yang tidak eksklusif tapi inklusif, sehingga market akan mendapatkan suasana baru selain bertransaksi keuangan di kantor Pegadaian.
Bahkan, kebiasaan-kebiasaan konvensional sebuah kantor keuangan yang tutup pelayanan pukul 17.00 WIB. Dengan disruption menjadikan kantor pelayanan Pegadaian tutup pukul 21.00 WIB. Sementara kedai coffe ditutup pada pukul 22.00 WIB malam. Hal ini menjadikan sebuah warna tersendiri bagi sebuah model keuangan nasional. Menariknya bagi konsumen bisa datang sambil menikmati biji kopi dari segala penjuru Nusantara.
Lantas bagaimana dengan keuangan mikro? Bagaimana pula dengan Baitut Tamwil Muhammadiyah (BTM).
Disruption tak bisa dielakkan dan harus menjadi peluang dalam berelaborasi dengan berbagai pihak. BTM dengan segala infrastrukturnya yang ada, bisa memeloporinya dalam membangun disruption bisnis ini. Bisa jadi ini menjadi sebuah keniscayaan dimana dalam satu gedung BTM ada kedai coffe atau restoran, butik, travel, apotik milik Jaringan Saudagar Muhammadiyah (JSM) dan layanan LAZISMU. Bahkan demi menjaring market bisa buka habis sholat subuh 05.30 WIB dan tutup pukul 21.00 WIB malam. Dengan model demikian tentunya menjadikan ide kreatifitas baru dalam menjawab tantangan market yang serba inklusif yang semuanya butuh kecepatan dalam pelayanan dan sekaligus sebagai positioning, deferensiasi tanpa menanggalkan semangat guyub dari entenitas sebuah ekosistem.
Semoga gagasan ini menjadi mimpi kita bersama untuk mewujudkan, sehingga esensi dakwah yaitu melayani bisa kita realisasikan dan bukan sekedar manisan narasi kata.
Jakarta, 29 Juni 2019