MEDIAHARAPAN.COM, Jakarta – Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Bidang Hukum, Faisal mengatakan, Majelis Hakim PN Jakarta Utara yang menangani kasus Penistaan agama dengan Terdakwa Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahya Purnama (Ahok) Harus berani memvonis terdakwa dengan Pasal 165 huruf a.
Menurut Faisal, Sebaiknya Majelis hakim betul betul mempertimbangkan keputusan tanpa keraguan, karena biasanya jika hakim ragu maka akan selalu saja berpegang pada asas In Dubio Pro Reo yang menyatakan jika terjadi keragu-raguan apakah Terdakwa salah atau tidak maka sebaiknya diberikan hal yang menguntungkan bagi Terdakwa.
“Dalam hal ini harapan kita hakim jangan ragu sedikitpun untuk menjatuhkan vonis 156 huruf a kepada terdakwa karena semua pertimbangan alat bukti sudah diuraikan cukup baik” Kata Faisal dalam keterangannya yang diterima redaksi Mediaharapan.com, Senin (8/5/2017).
Selain itu menurut Faisal, yang patut diketahui jika sistem pembuktian pidana kita lebih terikat pada sistem “Negatief Wettelijk”, yaitu keyakinan yang disertai dengan mempergunakan alat-alat bukti yang sah menurut UU sebagaimana yang disebut dalam 183 KUHAP “Hakim dalam menjatuhkan pidana sekurang-kurangnya gunakan dua alat bukti yang sah dan berbasis pada keyakinan hakim.
” Pada kesimpulannya lebih dari dua alat bukti jika terdakwa langgar 156a huruf a dan keyakinan hakim harus pula perhatikan keadilan publik yang terus menerus disuarakan oleh umat” Ungkapnya.
Faisal menambahkan, Dalam prakteknya hakim boleh melakukan Ultra Petitum yaitu penjatuhan putusan melebihi dari tuntutan JPU sepanjang itu benar secara hukum dan keadilan.
“Berdasar pada tiga pertimbagan di atas, hakim juga harus melihat fakta yuridis yang menjadi konstruksi hukum pasal 156a huruf (a) baik unsur subyektif terdakwa berdasarkan pengetahuan dan kehendaknya sudah secara nyata Sengaja melakukan perbuatan penodaan agama. Apalagi unsur obyektif diketahui oleh siapapun jika perbuatan itu dilakukan dimuka umum oleh terdakwa” jelasnya.
Faisal menegaskan, mendasarkan pada prinsip dasar dari kedua unsur yang dimaksud pasal 156a huruf (a) begitu jelas jika perbuatan terdakwa telah mengeluarkan perasaan atau perbuatan yang bersifat penodaan agama.
“Hakim dalam memvonis tidak perlu terbebani dengan Tuntutan JPU yang lebih memilih pasal 156 dengan pidana yang begitu ringan. Apalagi tuntutan JPU itu telah pemuda muhammadiyah adukan ke Komisi Kejaksaan dengan aduan indikasi tidak adanya independensi penuntutan” Ungkapnya lagin
Faisal berharap, Semoga hakim dapat menengok suasana kebatinan umat. Yang secara sosiologis sudah cukup terwakili melalui pendapat dan sikap keagamaan MUI yang menyatakan perbuatan ahok merupakan perbuatan yang menista agama.
“Dibalik toga dan palu hakim, kami menunggu keberanian dan keadilan untuk tegakkan Pasal 156a huruf (a). Pemberian efek jera kepada terdakwa bertujuan agar dapat menjaga perasaan keadaban publik tidak ternista. Tentu kami perlu hakim yang mengerti dan paham suasana kebatinan umat” Pungkasnya. (Handriansyah)