Oleh; Martimus Amin
Pengamat Hukum dan Politik
Polda Bali menetapkan Jubir FPI Munarman sebagai tersangka yang diduga melanggar Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45a (2) UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE dan Pasal 156 KUHP. Munarman sebelumnya dilaporkan Aliansi Masyarakat Bali terkait protes keberatannya di Kantor Kompas TV, 16 Juni 2016, atas framing pemberitaan Kompas Group acap menyudutkan agama Islam. Dalam tayangan live Kompas TV, Munarman mengemukakan salah satu contoh yang diambil dari sumber media lain yang memberitakan tentang pecalang di Bali melempari rumah penduduk dan pelarangan umat Islam Sholat Jum’at.
Peristiwa protes Munarman jelas-jelas terjadi di wilayah hukum Jakarta yakni Kantor Kompas TV. Jika Protes Munarman hendak dikriminalisasi, maka hukum acara pidana mengatur secara limitatif prosedur pelaporan peristiwa dugaan pidana adalah pada kantor polisi setempat. Tempat terjadinya suatu tindak pidana atau tempat kejadian perkara ini disebut Lokus Delicti Dalam istilah hukum Internasional, locus delicti adalah kewenangan yurisdiksi atau wilayah kewenangan peradilan.
Dalam KUHAP, pasal pasal 84 menjelaskan; locus delicti sebagai berikut:
Pasal (1) Pengadilan negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya. Pasal (2) Pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan negeri itu daripada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan. (UU no 8 /1981 tentang KUHAP).
Menurut Prof. Yahya Harahap dalam Bukunya berjudul ‘Permasalahan dan Penerapan KUHAP’, pasal 84 ayat 1 dan ayat 2 merupakan satu kesatuan sebagai syarat multlak memeriksa dan mengadili seseorang di wilayah hukum tempat kejadian atau tempat kediamannya.
Adapun peristiwa kejadian dan tempat kediaman Munarman adalah di Jakarta.
Locus Delicti berhubungan dengan Pasal 2-9 KUHP yaitu menentukan apakah hukum pidana Indonesia berlaku terhadap tindak pidana atau tidak. Selain itu, locus delicti juga akan menentukan pengadilan mana yang memiliki wewenang terhadap kasus tersebut dan ini berhubungan dengan kompetensi relative tempat kejadian.
Ada beberapa teori untuk menentukan di mana tempat terjadinya perbuatan pidana yaitu teori mengenai tempat di mana perbuatan dilakukan secara personal. Kedua adalah teori tentang instrument. Terakhir teori tentang akibat.
Teori Perbuatan Dilakukan secara Personal
Yaitu tempat terjadinya perbuatan dalam teori ini adalah tempat di mana perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman dilakukan.
Menurut teori ini, jika seorang pelaku menikam korbannya di Jakarta, setelah terjadi penikaman tersebut si korban pulang ke Bogor dan di sana ia meninggal, maka meskipun akibatnya (matinya korban) terjadi di Bogor, yang dianggap sebagai tempat dilakukannya perbuatan adalah Jakarta.
Teori Instrument yang Digunakan
Yaitu tempat di mana alat atau instrument yang digunakan untuk melakukan kejahatan menimbulkan akibat.
Jika seorang pelaku mengirimkan makanan beracun dari Jakarta ke Bandung untuk seseorang, kemudian orang tersebut (korban) memakan makanan beracun tersebut dan ia mati maka, yang dianggap sebagai tempat terjadinya kejahatan adalah Bandung. Hal ini dikarenakan alat yang digunakan untuk melakukan kejahatan (makanan beracun) menimbulkan akibat.
Teori Akibat
Menurut teori ini, yang dianggap sebagai tempat dilakukannya tindak pidana adalah tempat di mana suatu kejahatan menimbulkan akibat perbuatan. Dianggap sebagai tempat terjadinya perbuatan dalam contoh pada point (a) adalah Bogor dikarenakan di tempat tersebut akibat dari perbuatan (penikaman) terjadi.
Dengan demikian kesimpulannya, penyelidikan/ penyidikan laporan oleh Polda Bali atas pelaporan Munarman melanggar prinsip Locus Delicti.