Oleh : Taufik Hidayat (Wasekum Dewan Da’wah & Praktisi Survey)
MEDIAHARAPAN.COM – Perhelatan pilpres dan pileg tahun 2019 telah usai dan menyisakan polemik atas hasil Quick Count yang memenangakan paslon tertentu. Kecurigaan pun merebak terhadap hasil Quick Count tersebut terutama karena tampilan Data Quick Count di beberapa stasiun TV mengalami keanehan. Penulis setidaknya menemukan keanehan di empat stasiun TV yang pertama adalah TV One dimana pada jam 7 pagi tampilan Quick Count menunjukkan data sudah masuk 94.4 persen tapi hasil data masih 0 persen begitu pula suara partai sudah terisi dengan angka rata rata hingga 33 %. Yang kedua adalah video viral kesalahan metro TV yang menunjukkan hasil yang memenangkan paslon 02 sebesar 54 % lebih, termasuk juga di stasiun TV Indosiar dan stasiun TV Inews.
Kesalahan teknis diatas tentu patut dicurigai karena bisa terjadi secara bersamaan dan pemilik stasiun TV tersebut adalah pendukung paslon tertentu. Tentunya klarifikasi terhadap masalah diatas bisa saja dilakukan tetapi publik sudah menaruh kecurigaan yang tak terbendung apalagi sebagian besar Pollster terindikasi tidak netral dengan pernah diundangnya mereka ke istana negara. Menjadi pertanyaan mendasar adalah apakah mungkin seluruh lembaga Quick Count tersebut yang berjumlah sekitar 8 lembaga melakukan kecurangan secara berjama’ah ? jika benar curang, ini adalah skandal terbesar demokrasi kelas dunia dan menjadi faktor peganggu stabilitas bangsa dan negara yang dapat berujung konflik antar anak bangsa
Sebelum menjawab pertanyaan diatas, kita harus yakini dulu bahwa jika Quick Count dilakukan secara benar maka tentunya akan memprediksi hasil pemilu sebenarnya (selisih dari hasil resmi paling banyak satu persen). Metodologi Quick Count yang benar telah terbukti sesuai dengan hasil resmi pemilu. Oleh sebab itu, kita harus pahami terlebih dulu alur mekanisme Quick Count dan kemungkinan celah untuk dicurangi.
Banyak orang yang meragukan Quick Count dari sisi kecilnya sampel berbanding dengan jumlah populasi TPS yang besar, misalnya Indonesia yang mempunyai 800 ribu-an TPS bisa diwakili hanya dengan sekitar 2000-an TPS. Keraguan ini sebenarnya datang dari ketidakpahaman publik tentang ilmu statistik. Besarnya sampel ( Sample Size) diperoleh dari rumus baku yang sudah teruji dengan melibatkan margin of error, level of homogeinity/heteroginity dan oversample untuk mengkoreksi sampel yang gagal didatangi. Sehingga sampel 2000-an itu bukan berdasarkan kemauan peneliti tetapi berdasarkan rumus yang sudah teruji puluhan tahun. Yang terpenting adalah sampel yang dianggap kecil itu terdistribusi secara merata/proporsional melalui teknik random ( simple atau stratitifed). Asumsi ilmiahnya, setiap satu sampel TPS yang terpilih mewakili ratusan TPS yang hasilnya sama. Dalam kasus di Indonesia, satu sampel TPS mewakili 400-an TPS dengan hasil yang sama.
Tentunya, 2000-an sampel tadi harus didatangi oleh 2000 orang enumerator untuk mengirim data ketika selesai pencoblosan. Data yang dikirim oleh enumerator adalah data kertas Plano C1 yang selesai dihitung dan kemudian mereka ketik hasilnya melalui sms atau whatsapp. Ketika kiriman data sms/whatsapp melalui hasil ketikan tadi diterima oleh server lembaga survei maka oleh program/aplikasi akan langsung secara otomatis dijumlahkan dan secara real time akan tampil di data display (Bisa display di lembaga survey atau stasiun TV).
Untuk mengatakan bahwa Quick Count dilakukan secara curang maka ada beberapa kemungkinan yang bisa terjadi yaitu :
Pertama, ketika melakukan distribusi sampel TPS, Pollster tidak menggunakan teknik random. Pollster justru menggunakan teknik purposive sampling yang sarat subyektifitas dan lebih banyak memilih TPS yang menjadi lumbung suara paslon tertentu. Sehingga ketika penjumlahan akhir akan menguntungkan salah satu calon.
Kedua, bisa jadi TPS sudah didistribusikan secara benar melalui teknik random tetapi enumerator yang mengirim data tidak jujur dan merubah hasil yang sebenarnya. Dalam teorinya, enumerator Quick Count harus orang orang yang netral secara afiliasi politik, bukan anggota partai atau timses salah satu paslon. Independensi enumerator menjadi kata kunci apakah data dimasukkan secara jujur atau tidak. Kemungkinan yang lain adalah enumerator gagal mendatangi TPS yang terpilih dan diarahkan untuk memilih TPS yang lebih menguntungkan paslon tertentu (Walaupun sebenarnya sudah diantisipasi melalui oversample). Keamanan enumerator juga menentukan apakah enumerator bisa bekerja dengan nyaman atau dalam tekanan. (Indikasi ini terjadi pada enumerator Lembaga Survey Kedai Kopi pada pemilu kali ini).
Ketiga, point kecurangan pertama dan kedua diatas tidak terjadi tetapi ketika data enumerator dikirim ke server pusat data, maka data dimanupulasi oleh pihak yang paham bahasa pemrogaman. Memasukkan SQL injection atau Snippet pada script atau database (Intervensi ke Server) untuk merubah hasil bukanlah hal yang sulit. Pemilik lembaga survey bisa jadi tidak sadar bahwa server mereka di “kerjai” sehingga para analis dari Pollster masing masing tidak merasa ada yang tidak beres. Mereka yakin bahwa data di server mereka sahih karena sudah melalui prosedur yang benar tetapi SQL Injection atau Snippet tadi secara otomatis sedang bekerja setiap data masuk dan merubah hasil tanpa ada yang tahu.
Keempat, point kecurangan satu hingga tiga tidak terjadi, tetapi ketika data dari enumerator yang asli masuk tidak menguntungkan paslon tertentu, maka output display data segera diubah. Sehingga data yang masuk dengan data yang ada di display/TV tidak real time. Ada operator yang meng-”kotak-katik” data display seakan akan itu hasil real time. Biasanya kecurangan tipe ke-empat ini akan mudah dibaca oleh orang statistik yang paham tentang fluktuasi data. Biasanya jika data real time yang ditampilkan maka fluktuasi akan terjadi pada data masuk dari 0 persen hingga sekitar 40 persen-an. Terkadang paslon A yang menang dan terkadang paslon B yang menang. Tetapi dengan kebijakan Mahkamah Konstitusi yang mengharuskan data Quick Count dipublikasi pada pukul 15.00 maka hal ini sulit dilihat. Karena rata rata data masuk sudah mendekati 40 persen, sehingga kita tidak disajikan “keseruan” fluktuasi data yang menjadi “kegembiraan” demokrasi. Pemilu kali ini nyaris hanya membuat orang frustrasi karena “kegembiraan” itu hilang oleh kebijakan Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebenarnya masih banyak teknik teknik kecurangan Quick Count yang bisa dilakukan. Penulis hanya menampilkan celah kecurangan yang mungkin terjadi. Tentunya bisa jadi operasi menjadikan Quick Count ilmiah menjadi “abal-abal” tidak dketahui banyak pihak. Bisa jadi pula, pemilik lembaga survey tidak mengetahui bahwa hasil mereka “dikerjai” oleh salah satu point yang penulis sebutkan diatas. Untuk menjadikan publik percaya bahwa hasil Quick Count kali ini adalah ilmiah maka tak lain adalah lembaga pelaksana Quick Count harus melakukan Public Disclosure secara lengkap seluruh prosedur dari penentuan dan distribusi sampel, siapa saja enumerator yang terlibat/latar belakang afiliasi politik, foto C1 yang dijadikan sampel hingga source code/script program yang menghitung hasil kiriman data dari lapangan menjadi hasil akhir. Public Disclosure ini diviralkan melalui media media sosial sehingga pada akhirnya publik akan benar benar tercerahkan dan kembali percaya akan hasil Quick Count lembaga lembaga tersebut. Wallahu’alam Bishawwab