MEDIAHARAPAN.COM, Jakarta – Pesatnya arus informasi di era internet disadari atau tidak, muncul ekses negatif dari berita-berita tentang agama, suku dan ras. Disadari atau tidak ini menjadi bentuk ancaman keretakan dan keberagaman yang sudah berabad-abad terbangun di Indonesia. Apalagi keberagaman sudah dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Akan hal ini, Menteri Kordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Puan Maharani menegaskan program Revolusi Mental pemerintahan Jokowi-JK yang sedang dilaksanakan merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menjaga kehidupan harmoni dalam keberagaman. Negara akan hadir dalam upaya menjaga kerukunan hidup berbangsa dan bernegara.
“Banyak cara dan upaya yang akan ditempuh salah satunya adalah bekerjasama dengan perguruan tinggi di Indonesia,” demikian ungkap Puan yang juga merupakan cucu dari Presiden pertama RI Soekarno dan anak dari Presiden ke-5 RI, Senin (18/12/2017).
Terkait langkah nyata merawat harmoni dalam keberagaman tersebut, Kementerian Koordinator Bidang PMK melalui Staf Ahli Menko PMK bidang Kependudukan, Sonny Harry B Harmad, menggelar studi di 4 provinsi yakni Sumatera Utara, Lampung, Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Akademisi IPB, Prof Dr Rizal Damanik sebagai ketua tim studi mengatakan studi ini penting dilakukan karena keberagaman dan kemajemukan serta kebhinnekaan Indonesia sudah lama menjadi kearifan di Indonesia dan tak ada persoalan. Studi ini dilakukan dari bulan Oktober sampai Desember 2017.
Dalam studi di provinsi Sumatera Utara, para tokoh agama dan masyarakat setempat mengatakan bahwa aturan tentang berbuat baik di sebuah agama tidak hanya mengatur permasalahan yang terjadi antar penganut agama tersebut. Sejak awal sebuah agama mengakui adanya agama lain yang ingin bereksistensi di kehidupan manusia.
“Karena itulah aturan yang mengatur permasalahan kepercayaan atau agama lain pun menjadi salah satu hal yang diatur dalam setiap agama,” jelas Prof Rizal yang juga saat ini menjabat sebagai deputi di BKKBN pencetus program Kampung KB.
Sebelumnya, saat diskusi di Universitas Sumatera Utara (25/11/2017), Salah satu akademisi Universitas Sumatera Utara Prof Heru Santosa menyebutkan kondisi perseteruan yang ada di Irlandia antara kelompok Katolik dan Kristen yang hingga saat ini tak kunjung usai. Hal itu, akibat persoalan kekuasaan dan agama menjadi alatnya.
“Di Indonesia kita tidak mau seperti itu. Umat non Muslim di Indonesia harus lebih mentoleransi dan menghormati umat mayoritas,” sebutnya.
“Bukan malah sebaliknya, mayoritas menghormati mayoritas. Jika terjadi demikian, umat mayoritas (Islam) jelas akan menghormati umat minoritas (non Muslim),” imbuhnya.
Sementara itu, dalam studi yang di lakukan di Salatiga, Dekan Universitas Satya Wacana Daru Purnomo berpendapat bahwa sejak dahulu, sudah menjadi budaya dan kultur dalam kehidupan rakyat Indonesia.
“Rakyat Indonesia terdiri dari banyak budaya, etnis, ras suku dan agama. Sudah tak ada persoalan sejak nenek moyang kita,” katanya
Kemudian, Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Cabang Salatiga, Dodi Usman menilai keanekaragaman di Indonesia sudah tidak ada masalah dan jangan dipermasalahkan. Persoalan keyakinan masing-masing umat beragama jangan mencampuri keyakinan agamanya orang lain. Gerakan revolusi mental dan studi yang dilakukan oleh Kemenko PMK dan IPB merupakan bukti negara tidak tinggal diam melihat permasalahan berbangsa dan bernegara.
“Namun sosialisasi gerakan revolusi mental dan kehidupan harmoni ini harus digencarkan lagi khususnya pada generasi muda. Karena itu, organisasi kepemudaan dan kemasyarakat harus dijadikan poros terdepan,” ungkap Dodi, (Budi*)