Oleh Noor Azhari, Direktur Merah Putih Stratejik Institut (MPSI).
Kerusuhan akhir Agustus 2025 masih menyisakan polemik. Tidak hanya soal eskalasi aksi massa yang berujung anarkis, tetapi juga tudingan yang dialamatkan kepada Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pemberitaan Tempo melalui kanal YouTube berdurasi 40 menit 57 detik berjudul “Peran Tentara dan Pola Pelaku Kerusuhan Demonstrasi di Jakarta,..Bocor Alus Politik” menjadi sorotan publik.
Video itu menampilkan klaim bahwa TNI terlibat dalam kerusuhan. Narasi tersebut mengundang kritik karena bertolak belakang dengan fakta lapangan. Rekaman CCTV di Senayan hingga Slipi, serta dokumentasi jurnalis independen, justru memperlihatkan TNI membantu Polri mengevakuasi warga sipil, menjaga jalur vital menuju rumah sakit, dan mengamankan fasilitas umum dari perusakan.
Tuduhan Darurat Militer Tidak Realistis
Isu bahwa TNI mendorong darurat militer juga mengemuka. Secara hukum, pemberlakuan darurat militer diatur dalam UU No. 23 Tahun 1959, dengan prosedur panjang yang melibatkan Presiden, DPR, hingga pertimbangan hukum internasional. Menyebut TNI sengaja menciptakan instabilitas demi kepentingan ini jelas tidak realistis.
Lebih jauh, Presiden saat ini berlatar belakang TNI. Sulit membayangkan skenario di mana TNI justru melemahkan pemerintah yang dipimpin oleh mantan perwira tinggi mereka sendiri. Narasi semacam ini tampak provokatif ketimbang analisis yang faktual.
Dimana Independensi Media?
Situasi semakin panas ketika beredar video pendek 2 menit 30 detik di TikTok dan WhatsApp. Video tersebut menyebut PT Info Media Digital, anak perusahaan Tempo, menerima pendanaan dari Media Development Investment Fund (MDIF) pada Juli 2024.
MDIF memang dikenal sebagai lembaga internasional yang mendukung media di banyak negara. Namun, dalam sejumlah kasus, pola pendanaan semacam ini diperdebatkan karena berpotensi membuka ruang agenda eksternal.
Pertanyaan pun muncul, apakah framing Tempo terhadap TNI lahir dari independensi redaksi, atau ada pengaruh eksternal yang mendorong narasi delegitimasi institusi pertahanan Indonesia?
Pelajaran dari Runtuhnya Rezim Saddam Hussein di Irak
Untuk memahami risiko delegitimasi melalui media, menarik membandingkannya dengan kasus penggulingan Saddam Hussein di Irak (2002–2003).
Pertama, operasi informasi. Amerika Serikat dan sekutu membangun narasi global tentang senjata pemusnah massal (Weapons of Mass Destruction). Meski belakangan terbukti tidak ada, isu itu sudah cukup untuk menggeser opini publik dunia.
Kedua, simbolisasi kekuasaan. Saddam membangun kultus individu lewat patung dan mural. Namun, saat rezim jatuh, simbol-simbol itulah yang pertama kali dihancurkan. Runtuhnya patung Saddam di Baghdad (9 April 2003) menjadi tanda visual tumbangnya kekuasaan.
Ketiga, fragmentasi internal. Kelompok Kurdi dan Syiah dimanfaatkan untuk melemahkan basis dukungan Saddam. Strategi divide et impera membuat rezim semakin terisolasi.
Keempat, intervensi moralitas. Invasi 2003 diberi nama Operation Iraqi Freedom. Narasi “pembebasan rakyat Irak” dipadukan dengan propaganda media, sehingga intervensi asing tampak sah di mata publik.
Teori Konspirasi dan Pola Hancurnya Negara Dunia Ketiga
Dalam kajian hubungan internasional, ada teori konspirasi yang menyebut bahwa negara dunia ketiga kerap dijadikan “laboratorium geopolitik” oleh kekuatan besar.
Pola yang berulang dapat diamati bahwa delegitimasi institusi negara melalui media dan LSM internasional, membangun citra oposisi sebagai “pahlawan reformasi”, memanfaatkan konflik horizontal, hingga intervensi ekonomi-politik lewat lembaga donor yang mendukung media atau kelompok sipil.
Semua ini diakhiri dengan penghancuran simbol-simbol negara, entah berupa patung, monumen, atau bahkan reputasi institusi keamanan.
Contoh paling jelas terlihat di Irak, Libya (jatuhnya Muammar Gaddafi dengan simbol video penangkapannya), dan Suriah yang terus dilanda perang informasi. Jika pola ini diterapkan ke Indonesia, maka framing terhadap TNI bisa dipandang bukan sekadar kritik media, tetapi bagian dari upaya sistematis melemahkan simbol pertahanan negara.
Dalam konteks geopolitik, Indonesia yang kaya sumber daya dan strategis secara maritim tentu menjadi sasaran empuk bagi kepentingan asing.
Refleksi Negara Demokrasi
Kebebasan pers merupakan fondasi demokrasi, namun ia tidak boleh dipakai untuk melemahkan institusi negara. Pelajaran dari Irak, Libya, hingga Suriah menunjukkan bahwa negara dunia ketiga kerap dijatuhkan lewat pola delegitimasi, fragmentasi, hingga simbolisasi kehancuran.
Indonesia harus waspada.
TNI bukan sekadar alat pertahanan, melainkan simbol kedaulatan. Publik dituntut lebih kritis agar tidak terjebak dalam narasi yang menyesatkan, apalagi jika narasi itu ternyata bagian dari pola konspirasi global yang ingin menggerus kedaulatan negara di tengah persaingan geopolitik dunia.
Narasi “Kemarahan” seakan senantiasa di jadikan framing dan bahan bakar yang selalu dinyalakan. Ada upaya sistem dalam setiap problematika situasional sosial diciptakan secara subjektif dan emosional. Indikator ini dipertahankan agar kemarahan kelompok selalu melekat dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia. Mereka lupa masyarakat Indonesia tidak hanya memiliki keberanian emosional, namun juga memiliki masyarakat yang teguh dan tegar dalam menghadapi situasi tekanan tanpa emosional.