Penulis : Faruq Arjuna Hendroy
MEDIAHARAPAN.COM, Jakarta – Di awal tahun 2019 ini, Indonesia kembali dihebohkan dengan terjadinya dua ledakan di kawasan padat penduduk kelurahan Pancuran Bambu, Kecamatan Sibolga Sambas, Sumatera Utara.
Ledakan pertama terjadi pada Selasa sore, 12 Maret 2019, saat polisi hendak memeriksa rumah terduga teroris bernama Abu Hamzah beberapa saat setelah penangkapannya.
Ledakan ini melukai seorang polisi dan warga yang saat itu berada di sekitar kejadian. Ledakan kedua terjadi pada Rabu dini hari, 13 Maret 2019. Istri Abu Hamzah, Solimah, meledakkan diri setelah negosiasi selama sembilan jam yang dilakukan oleh polisi untuk membujuknya menyerah menemui titik buntu.
Alhasil, Solimah beserta anaknya yang masih berusia dua tahun meninggal akibat ledakan itu. Dua ledakan yang meghantam kelurahan Pancuran Bambu mengakibatkan 155 rumah rusak dan 161 kepala keluarga mengungsi.
Di hadapan media, Irjen M Iqbal selaku Kepala Divisi Humas Polri mengatakan penangkapan Abu Hamzah adalah berkat pengembangan kasus terorisme Lampung. Sebelumnya, polisi berhasil menangkap terduga teroris bernama Ro yang berencana melakukan serangan ke markas kepolisian.
Dalam pembekukan Ro, polisi menyita sejumlah bahan peledak dan mengantongi informasi tentang jaringannya di Sibolga. Berbekal informasi itu lah polisi berhasil meringkus jaringan Abu Hamzah. Abu Hamzah dinilai lebih berbahaya ketimbang Ro.
Sebab, Abu Hamzah memiliki bahan peledak yang jumlahnya lebih banyak. Bahkan, diantaranya ada yang sudah aktif alias siap ledak. Hasil investigasi mendalam dari Polri juga menyimpulkan bahwa Abu Hamzah lebih ahli dalam merakit bom ketimbang Ro. Ia bahkan menjadi aktor intelektual dalam jaringannya berkat kemampuanya di atas rata-rata temannya.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Dedi Prasetyo mengungkapkan Abu Hamzah sudah enam tahun aktif dalam jaringan terorisme. Ia tergabung dalam kelompok Jamaah Anshar Daulah (JAD) pimpinan Amman Abdurrahman yang berafiliasi dengan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS).
Jika informasi ini benar, maka diduga kuat target penyerangan dari Abu Hamzah dan jaringannya adalah pihak kepolisian, sebagaimana layaknya Ro. JAD menganggap negara sebagai Thaghut yang harus diperangi.
Thaghut yang berarti iblis merupakan sebuah istilah yang sering dipakai oleh kelompok ekstrimis untuk mendiskreditkan musuh-musuhnya. Sedangkan polisi sebagai alat negara dianggap sebagai pasukan thaghut, sehingga JAD menginstruksikan anggotanya untuk berperang melawan mereka. JAD juga tidak segan menyerang warga sipil.
Menurutnya, siapapun yang tidak mendukung perjuangan mereka adalah musuh yang boleh diserang. Belum diketahui secara pasti lokasi mana yang akan diserang oleh Abu Hamzah. Namun, banyaknya jumlah bahan peledak di kediamannya menguatkan dugaan bahwa ia akan melakukan serangan besar-besaran.
Fakta lain yang patut untuk dicermati adalah aksi bom bunuh diri Solimah, istri Abu Hamzah. Setelah berhasil meringkus Abu Hamzah, polisi berencana memaksa masuk ke dalam rumahnya untuk melakukan penggeledahan.
Namun akibat terjadinya ledakan pertama, polisi mengurungkan rencana itu. Terlebih lagi setelah polisi juga mendapati bahwa Solimah dan anaknya masih berada di dalam rumah dengan sejumlah bahan peledak aktif.
Polisi pun akhirnya mencoba untuk berdialog dengan Solimah melalui pengeras suara masjid. Berbagai pihak seperti tokoh agama dan pejabat pemda juga dilibatkan untuk membujuknya keluar. Bahkan, Abu Hamzah sendiri sempat diminta oleh polisi untuk membujuk istrinya. Tetap saja, semua usaha berakhir dengan kegagalan.
Solimah lebih memilih meledakkan dirinya. Bom bunuh diri merenggut nyawanya, nyawa anaknya, dan sekaligus memporak-porandakan kediamannya. Kejadian ini seolah telah diprediksi oleh Abu Hamzah sendiri tatkala ia mengaku kepada polisi bahwa istrinya lebih radikal daripada dirinya.
Fenomena istri lebih radikal daripada suami menjadi isu yang menarik di tengah dominannya budaya patriarki dalam struktur organisasi teroris. Selama ini, perempuan dalam terorisme hanya menempati posisi nomor dua.
Perempuan hanya dikerahkan sebagai pengumpul dana atau penyedia logistik. Namun, sejak NIIS menfatwakan adanya kesetaraan antara pria dan wanita di barisan terdepan medan pertempuran, semakin banyak juga wanita yang mengambil peran sebagai martir, atau dalam bahasa kelompok teroris biasa disebut sebagai pengantin.
Solimah adalah salah satunya. Menurut pengakuan Abu Hamzah, Solimah ternyata juga bisa merakit bom sendiri. Kondisi dimana ia bisa lebih radikal dari suaminya secara tidak langsung menyiratkan bahwa teroris wanita tidak hanya bisa menyetarai, namun nyatanya juga bisa ‘mengungguli’ teroris pria.
Keluarga Abu Hamzah yang sudah terjangkit virus radikal ini tampaknya tengah berencana untuk melakukan operasi penyerangan di sejumlah lokasi, mengingat banyaknya jumlah bahan peledak yang sudah mereka siapkan.
Pengamat terorisme, Zaki Mubarak menyebutkan ada kemungkinan keluarga Abu Hamzah akan meniru model penyerangan di Surabaya tahun lalu, dimana semua anggota keluarga akan diajak untuk melakukan bom bunuh diri bersama-sama.
Militansi anggota keluarga Abu Hamzah dan keterkaitan mereka dengan kelompok JAD membuat dugaan Zaki Mubarak ini masuk akal. Sebagaiman kita ketahui, Dita Supriyanto mengajak seluruh anggota keluarganya untuk melakukan aksi bom bunuh diri bersama di tiga gereja tahun lalu.
Strategi ini nyata memang menjadi ‘contoh sukses’ dan menginspirasi kelompok lainnya untuk menerapkan strategi serupa. Selain susah dideteksi dan diprediksi oleh polisi, strategi ini juga menjadi solusi atas kurangnya sumber daya manusia (SDM) di tubuh jaringan teroris yang siap menjadi martir aksi bunuh diri.
Apersiasi setinggi-tingginya perlu disematkan kepada pihak kepolisian yang berhasil meringkus jaringan teroris Sibolga ini. Kesigapan polisi telah berhasil menghentikan rencana aksi pengeboman dan menyelematkan nyawa banyak orang tak berdosa.
Keberhasilan ini tidak lepas dari peran UU no. 5 tahun 2018 yang merupakan wajah baru dari peraturan perundang-undangan anti-terorisme hasil revisi undang-undang sebelumnya. Undang-undang terbaru ini memberikan keleluasan yang lebih luas bagi kepolisian untuk mengkriminalisasi dan menangkap terduga teroris.
Misalnya pada pasal 10A, polisi berwenang untuk menangkap seseorang atas tuduhan kepemilikan bahan peledak tertentu. Kemudian pada pasal 12A, polisi berwenang untuk menangkap siapapun yang merencanakan dan menggerakkan aksi terorisme, serta siapapun yang merekrut atau tergabung dalam jaringan kelompok teroris.
Selanjutnya, pada pasal 12B, polisi juga berwenang menangkap siapapun yang mengikuti atau menyelenggarakan pelatihan militer/paramiliter di dalam dan luar negeri.
Jika sebelumnya polisi harus menunggu aksi terorisme terjadi terlebih dahulu baru kemudian bisa bergerak, namun sekarang berkat penambahan beberapa klausul tersebut polisi bisa bergerak menghentikan aksi terorisme lebih cepat, salah satunya seperti yang terjadi di Sibolga.