Oleh : Buya Hamka
Sebagai rakyat Indonesia yang memiliki kesadaran beragama dan bernegara sejak Indonesia merdeka, kita telah menetapkan dasar falsafah negara kita, yaitu: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Peri kemanusiaan, (3) Kerakyatan, (4) Persatuan Indonesia, dan (5) Keadilan sosial.
Supaya cepat menyebutkan, kita simpulkan kelima dasar falsafah itu dalam ungkapan: “Pancasila”.
Tapi, tidak sedikit pula orang lupa akan kelima dasar falsafah itu, atau tidak hafal karena telah dibungkus oleh nama tersebut.
Di dalam Undang-Undang Dasar 1945 sendiri, kata-kata PANCASILA tidaklah ada. Tetapi, kelima rumusan dasar itu jelas terdapat, baik pada preambul atau dalam batang tubuh undang-undang dasar itu sendiri.
Tidaklah mungkin umat Islam 95% (mayoritas) akan menolak atau bertentangan dengan Islam. Apatah setelah berkali-kali dikaji, dibahas lebih mendalam, ternyata bahwa di antara kelima dasar tidaklah dapat dipisahkan dan oleh Bung Hatta, salah seorang Proklamator, didapat kesimpulan bahwa dasar Ketuhanan Yang Maha Esa adalah menjiwai atau jadi pokok asal dari keempat dasar berikutnya.
Dengan demikian jelaslah menurut teori dan praktik bahwa kaum Muslimin Indonesia tidak masuk akal akan menentang Pancasila. Tidak logis.
Sumber akidah kaum Muslimin ialah Ketuhanan Yang Maha Esa. Doktrin tentang keesaan Allah ini dalam Islam mempunyai latar belakang ajaran yang sangat positif, yang diberi nama ajaran tauhid. Tauhid ialah mempergunakan akal dan susunan berpikir sistematis untuk sampai kepada kesimpulan bahwa Allah itu adalah Esa.
Secara populer ajaran “sifat dua puluh” diajarkan sampai ke kampung-kampung. Bahwa Allah itu adalah Esa, Esa pada zat-Nya, Esa pada sifat-Nya, Esa pada Af‘aal (perbuatan-Nya).
Diakui bahwa Maha Pecipta Alam hanya Allah. Tiada Tuhan melainkan Allah dan tidak Dia bersekutu dengan yang lain. Dalam bahasa Arab disebut tauhid rububiyah.
Di dalam Al Qur’an di dalam Al Hadits dijelaskan lagi bahwa “tali” yang kita pegang ada dua. Pertama hablun minallah (tali dari Allah), kedua hablun minannaas (tali dengan manusia). Kalau dua tali tidak dipegang, atau terlepas salah satu, kehinaanlah yang akan menimpa diri, di mana pun kita berada (lihat surat Ali ‘Imran ayat 112).
Oleh sebab itu maka peri kemanusiaan adalah konsekuensi yang wajar sesudah kita berpegang teguh dengan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Untuk memupuk kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa itu, dan memelihara peri kemanusiaan, kita beribadah, kita sembahyang dengan berjamaah. Kita dirikan langgar, surau, mushala, dan masjid. Kita keluar ke tanah lapang sembahyang beramai-ramai pada dua hari raya dan kita naik haji ke Mekkah sekurangnya sekali seumur hidup.
Ibadat dan berjamaah itu merapatkan silaturahmi kita, menyuburkan peri kemanusiaan.
Apabila orang telah selalu membiasakan berkumpul dan berjamaah, dengan sendirinya mereka pun akan membiasakan diri mengadakan permusyawaratan.
Di dalam surat ke-42, Asy-Syuraa (Permusyawaratan) ayat 38 dijelaskan rentetan: (1) Melaksanakan kehendak Tuhan (beribadat, beramal, berusaha), (2) beramai-ramai mendirikan sembahyang, (3) dan urusan mereka dipermusyawaratkan, dan (4) rezeki yang diberikan Tuhan dinafkahkan dengan baik.
Dalam rangkaian nomor tiga terdapat pokok utama hidup bersama, yaitu musyawarat. Dalam rangkaian nomor empat, menafkahkan rezeki yang diberikan Allah terdapat dasar keadilan sosial. Sebab yang diberi Allah rezeki kekayaan memberikan sebahagian harta bendanya untuk membantu yang miskin dan melarat.
Persatuan Indonesia sebagai sila keempat adalah hasil musyawarat. Yaitu musyawarat pemuka-pemuka bangsa Indonesia mempersatukan suku-suku bangsa ini jadi satu negara yang bernama Republik Indonesia. Dalam permusyawaratan itu duduk pemuka-pemuka yang mewakili umat Islam Indonesia (Haji Agus Salim, H. A. Wahid Hasyim, Abikusno Cokrosuyoso, dan Haji Abdulkahar Muzakkir). Empat orang wakil kaum nasionalis yang lain (Ir. Soekarno, Dr. Mohammad Hatta, Mr. Mohammad Yamin, dan Mr. Ahmad Subardjo). Hanya satu yang bukan mewakili Islam, yaitu A.A. Maramis (mewakili Kristen).
Dipandang dari segi hukum Islam, fiqih dan ushul fiqihnya, permusyawaratan dan hasil permusyawaratan itu adalah SAH.
Dipandang dari segi sumber asli ajaran Islam, yaitu Al Qur’an, tersebut dalam surat ke-49, Al-Hujaraat ayat 13, bahwasanya adanya berbangsa-bangsa dan bersuku-suku itu diakui. Gunanya ialah untuk kenal-mengenal di antara satu dengan yang lain. Agama bukanlah menghapuskan bangsa dan menghancurkan suku, sebagaimana dalam Republik Indonesia sendiri pun, sejak Proklamasi 17 Agustus kita bergabung jadi satu, bukanlah berarti misalnya bahwa “penulis Dari Hati ke Hati ini telah berhenti jadi orang Minangkabau”.
Demikianlah secara teori dan praktik, ilmiyah atau falsafah, Pancasila yang berarti kelima dasar itu tidaklah merugikan Islam. Sebaliknya, kalau umat Islam memegang teguh dan mengamalkan agamanya, tidaklah Pancasila akan rugi. Malahan ada banyak orang di Indonesia ini, termasuk penulis ini sendiri, mempunyai keyakinan hidup yang tidak dapat diubah, demi kebebasan berpikir, dan demi kemuliaan logika. Bahwa dengan teguh kokohnya kaum Muslimin menjalankan sepanjang ajaran agama Islam, Pancasila akan terjamin keutuhannya. Bahkan lebih tegas lagi, “Keteguhan Pancasila akan terjamin bila umat Islam yang 95% ini yakin akan agamanya. Dan kalau umat Islam telah lalai dari agamanya, terutama sudah goyang ajaran tauhidnya, Pancasila terancam runtuh.”
Syaikh Muhammad Abduh pernah mengatakan: “La’anallahus siasata” (Dikutuk Allah politik). Dan berkata beliau pula: “Jika politik telah masuk dari pintu muka, hakikat kebenaran akan terusir keluar dari pintu belakang.”
Begitu terangnya jalan yang kita tempuh, namun masih banyak orang yang tidak suka kalau umat Islam kelihatan terpampang dalam zaman pembangunan. Dilemparkan kata-kata bahwa umat Islam tidak menyukai Pancasila.
Latar belakangnya ialah politik.
Padahal kadang-kadang yang membuat provokasi itu tidak pula jelas baginya apa yang Pancasila itu.
Kalau umat Islam menguraikan setiap arti sila menurut ajaran Islam bahwa kalau umat Islam tidak percaya kepada isi dasar yang lima itu berarti keluar dari Islam, sebab percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa bagi umat Islam adalah akidah pertama dan utama. Jika tidak mau percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, berarti kafir masuk neraka. Jika diterangkan pula bahwa Pancasila tersebab dasar pertama itu bagi kaum Muslimin adalah bukan untuk dunia saja, bahkan “Pancasila sampai ke akhirat”. Jika diterangkan demikian timbul pulalah provokasi lainnya: “Jangan diutik-utik Pancasila.” Jangan ditafsirkan Pancasila menurut kemauan sendiri-sendiri, jangan ditafsirkan menurut suatu agama, padahal belum ada tafsir resmi yang jelas dan gamblang dikeluarkan oleh pemerintah, yang dengan tafsir itu sudah dilarang keras orang menafsirkan Ketuhanan Yang Maha Esa sampai ke akhirat. Sementara pihak-pihak di luar Islam menafsirkan pula Pancasila itu menurut kemauannya yang kadang-kadang amat jauh dari kebenaran.
Saya teringat waktu di zaman Orde Lama atau tegasnya zaman fitnah, memfitnah dipakai komunis untuk menghancurkan lawan-lawannya, saya sendiri pun turut jadi korban. Ditahan karena dituduh mengadakan komplot untuk hendak membunuh Presiden Soekarno.
Ketika polisi-polisi menanyai (interogasi) dalam tahanan di Sukabumi pernah pula di antara pertanyaan yang dikemukakan, bagaimana pendapat saya tentang Pancasila dan Nasakom.
Ketika saya terangkan bahwa saya menerima Pancasila sebab saya adalah seorang yang mempunyai dasar ajaran Islam tentang tauhid, maka polisi yang menanya itu membawa perkataan kepada suatu arah yang dia tentukan. Polisi penanya itu berkata: “Kalau demikian Pancasila Saudara Hamka ialah DI/TII.”
Saya Tanya: “Kenapa dibawa ke situ?”
“Tentu begitu dan harus begitu!”
“Saudara yang mengharuskan, saya tidak,” jawab saya.
Kemudian ditanyai pula pertalian di antara Pancasila dan Nasakom. Saya menyatakan pendirian saya dengan jelas: “Bahwa Pancasila tidak mungkin disetalikan dengan Nasakom. Mempersatukan Pancasila dengan Nasakom sama dengan mencampur yang haq dengan yang bathil. Nasakom itu sendiri yang NAS dimaksudkan ‘nasional’ dan A dimaksudkan ‘agama’ dan KOM dimaksudkan ‘komunis’, lalu dikocok jadi satu, samalah dengan mempersatukan minyak tanah dengan air dalam satu botol. Dia musti diguncangkan terus supaya dia kelihatan bersatu. Berhenti saja sejenak mengocok mengguncang-guncang, dia kembali berpisah-pisah.”
Si polisi yang bertanya memulai pula pertanyaan lain yang memaksa agar saya sampaikan kepada jawaban yang telah ditentukan dalam tanya. Dia katakan: “Kalau demikian yang saudara Hamka maksud ialah tangan Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno; jadi menurut paham saudara Hamka, selama tangan beliau masih mengocok dan mengguncang-guncang, selama itu Nasakom akan ada. Itulah sebabnya maka saudara turut dalam komplotan hendak membunuh Pemimpin Besar Revolusi, supaya tangan beliau berhenti buat selamanya mengocok-ngocok botol Nasakom.”
Cara-cara yang dipakai komunis itu kadang-kadang masih ada juga yang memakainya, walaupun PKI tidak ada lagi.
Oleh sebab itu janganlah ahli-ahli dakwah atau mubaligh-mubaligh Islam sampai terpancing masuk ke dalam perangkap provokasi yang telah diatur.
Lothrop Stoddard pernah mengatakan: “Telah datang zamannya yang susah buat menidurkan umat Islam dan telah lalu masanya yang susah buat membangunkan mereka dari tidurnya yang nyenyak.”
Dan setelah mereka bangun, kerja sama dalam pembangunan, berjalan beriringan di antara ulama dan umara dan dengan zu’ama datang pula pertanyaan: “Apakah tidak membahayakan kita kalau kaum Muslimin ini berpartisipasi?”
Saya ulangkan sekali lagi: “Kita kaum Muslimin Indonesia adalah Pancasilais yang tahan uji. Kita cemas kalau-kalau Pancasila kocar-kacir, kalau kita tidak menjalankan perintah agama kita. Kita harus berusaha agar Pancasila itu kita amalkan, kita amankan dan kita resapkan. Yaitu dengan konsepsi yang telah digariskan oleh Allah dan Rasul.
Namun orang yang cemas dengan partisipasi kita, akan tetap juga cemas. Akan ada yang bersikap membuat tafsir sendiri dan merayu kita supaya menerima tafsiran yang mereka buat dan disodorkan kepada kita supaya diterima, padahal untuk menjahanamkan kita sebagaimana diperbuat oleh polisi-polisi yang menanyai saya ketika dalam tahanan dahulu itu.
Kita adalah umat yang menjunjung tinggi Pasal 29 Undang-Undang Dasar ’45, bahwa negara ini berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Yaitu: “Allah yang dengan berkat dan Rahmat-Nya kita bangsa Indonesia telah merdeka.”
Kepada Allah Yang Maha Esa, yang menurunkan berkat dan Rahmat-Nya itulah kita bertawakal dan menyerahkan diri dalam mencintai tanah air, bangsa, dan negara kita.
Tulisan dimuat dalam rubrik Dari Hati ke Hati, Panji Masyarakat Nomor 201 tahun ke-17, 15 Juni 1976