Oleh: Edriana Noerdin
1. Kebijakan Gentrifikasi.
Kebijakan gentrifikasi ini ada dua jenis.
Pertama, gentrifikasi langsung, yaitu menggusur daerah padat, kumuh dan tidak terawat untuk mendirikan perumahan mewah dan perkantoran. Hanya orang kelas menengah ke atas yang sanggup membeli rumah disitu. Yang menengah ke bawah tergusur ke pinggir.
Kedua, gentrifikasi tidak langsung, yaitu menggusur orang yang tinggal di kawasan padat dan kumuh, dan membangun daerah itu menjadi taman dan fasilitas publik lainnya. Akibat dari kebijakan ini, harga properti di daerah sekitarnya jadi melambung. Contohnya adalah Kalijodo. Gentrifikasi di Kalijodo adalah akal2an pengembang untuk mentransformasi daerah sunset itu menjadi daerah sunrise dan meraup keuntungan yang luar biasa dari penjualan properti mereka di daerah itu. Karena harga2 properti berlipat, kalangan menengah ke bawah tidak bisa lagi mempunyai rumah disitu. Gentrifikasi biasanya memang dilakukan dengan kombinasi antara penggusuran paksa dan melalui mekanisme pasar.
Makanya daerah Kalijodo yg seharusnya menjadi daerah RHT ( Ruang Hijau Terbuka ) dengan ketentuan O% bagunan telah disalah gunakan dengan dibangun berbagai fasilitas umum sehingga menyalahi aturan Perda no.1/2014 ttg rencana detail tata ruang dan peraturan zonasi.
Penataan kawasan padat dan kumuh dan pembangunan taman kalau tidak dilakukan dengan hati2 akan membawa dampak anti-kelas menengah ke bawah karena akan membuat harga properti di kawasan tersebut melambung sehingga perumahan semakin tidak terjangkau oleh kalangan menengah dan bawah.
2. Kebijakan yang membiarkan pengembang membangun gedung2 pencakar langit tanpa batas ketinggian. Karena semakin tinggi gedung akan semakin besar kebutuhan untuk memompa air tanah dan ini akan semakin memperkencang laju terbukanya pori2 tanah yang mempercepat penurunan permukaan tanah di Jakarta. Kebijakan ini menguntungkan pengembang tapi merugikan warga kota lainnya karena disatu sisi ancaman banjir tetap nyata namun ironisnya terjadi pengeringan air tanah yang akan menyulitkan warga kota. Bangunan2 pencakar langit bila tidak diatur batas ketinggiannya akan menjadi penyebab semakin mempercepat penurunan permukaan tanah di Jakarta yang memang sudah turun sehingga ini juga merupakan salah satu penyebab banjir.
* Pelanggaran koefisien dasar bangunan atau kelebihan luas bangunan… kepada pengembang hanya dikenakan penalti denda yg nota bene..hanya berupa retribusi..artinya pengembang dapat tambahan bangunan..tapi tidak mengeluarkan biaya membeli tanah.
3. Kebijakan reklamasi. Kebijakan ini hanya menguntungkan pengembang dan golongan elite karena harga properti dan prasarana penunjang di daerah reklamasi sangat mahal sehingga hanya bisa diakses oleh segelintir orang kaya di Indonesia. Kebijakan ini merusak ekosistem pantai dan memarginalkan nelayan yang kehilangan daerah tangkapan dan penangkaran mereka. Disamping akan memperparah ancaman banjir di Jakarta.
* Pengembang tidak mengeluarkan biaya membeli tanah / laut tempat berdiri bangunan, tetapi hanya mengeluarkan biaya berupa retribusi utk melakuan reklamasi dan perijinan dan biaya utk melakukan reklamasi…yg nilainya jauh dibawah nilai jual tanah sesudah reklamasi tsb dikerjakan…(keuntungan luar biasa bagi pengembang yg mendapat proyek reklamasi)
4. Kebijakan yang mengharuskan para pengembang membangun fasilitas umum dan fasilitas khusus tanpa dananya masuk dulu ke kas daerah. Ini rawan isu korupsi dan manipulasi serta kebijakan balas jasa atas pembangunan itu semua.
5. Kebijakan Rusunawa, dan bukannya Rusunami. Kebijakan ini menguntungkan pengembang karena penyewa bisa sewaktu-waktu disuruh keluar ketika lahan dibutuhkan oleh pemerintah dan pengembang. Contohnya penghuni Rusun Cipinang Besar Selatan yang diminta menandatangani kontrak bahwa sewaktu waktu pemerintah membutuhkan lahan rusun, maka rusun akan di hancurkan tanpa ganti rugi.
Serta banyak lagi contoh lainnya.
Maju kotanya bahagia warganya.!!!