Oleh: Everd Scor Rider Daniel
MEDIAHARAPAN.COM – Fenomena diaspora merupakan deskripsi mengenai suatu bentuk mobilisasi, pergerakan manusia dari suatu wilayah ke wilayah lainnya. KBBI, menjelaskan diaspora sebagai penyebaran manusia ke berbagai penjuru dunia. Di tengah kondisi interkoneksi, manusia-manusia saling terhubung, jarak tidak lagi memperlebar posisi negara. Integrasi dimaknai sebagai wujud pembebasan dari fenomena perpindahan manusia (persons in movement).
Diaspora merupakan bagian refleksi kebebasan dari fenomena migrasi antar negara. Untuk itu melekat apa yang dinamakan konsep self dettermination dan prinsip hak asasi manusia (human rights). Diaspora menjadi wacana aktual di tengah kondisi interkoneksi (globalisasi). Persepsi mengenai pembangunan di era saat ini tidak lagi murni bertumpu pada paham-paham konvensional (tidak hanya melibatkan unsur di dalam negara/origin countries), tetapi peran warga negara yang berada luar juga kini menjelma sebagai aktor-aktor potensial (developmental actors). Analogi sederhana bahwa pembangunan tidak hanya mendapat “udara” dari dalam, namun interkoneksi memberikan paradigma baru bahwa “udara” itu bisa berasal dari luar (accros nations).
Diaspora adalah mereka (WNI) yang tersebar di seluruh negara, memiliki basis keilmuan dan kapasitas, sebagai “udara” yang dapat memberikan angin segar bagi pembangunan Indonesia. Diaspora menurut Indonesian Diaspora Network, diklasifikasi menjadi empat bagian yaitu: pertama, WNI yang berdomisili di luar negeri (memiliki paspor Indonesia secara sah); kedua, WNI yang pindah status menjadi negara asing (naturalisasi), ketiga, Warga Negara Asing dengan ikatan darah dari orang tua atau leluhur Indonesia, keempat, WNA yang memiliki kecintaan terhadap Indonesia.
Diaspora menjadi perbicangan penting, sebagai pendekatan kesempatan (opportunity approach) di tengah derasnya arus penyebaran penduduk. Kemajuan globalisasi atau dalam pandangan Anthony Giddens dinamakan “global village”, mendeskripsikan penyatuan seluruh wilayah di dunia menjadi satu bagian, tidak ada garis demarkasi maupun pemisahan yang jelas. Globalisasi secara krusial “merombak” batas negara dan mengaburkan garis-garis geografis negara. Artinya, persons in movement telah menjadi alternatif lain, sebagai cara praktis mengejar kebutuhan dan kesejahteraan manusia.
Self Dettermination dan Hak Kesejahteraan
Integrasi geografis membuka peluang bagi siapa pun untuk mencari sesuatu yang dianggap bermanfaat bagi keberlangsungan hidupnya. Dengan begitu, penentuan nasib sendiri merupakan suatu yang dapat secara bebas dilaksanakan, tanpa tekanan atau larangan, bahkan dari negara sekalipun.
Bahwa, perpindahan sebagai suatu hak kemanusiaan (movement as a basic rights). Negara tidak memiliki cukup andil, apalagi menghalangi warga negara untuk berpindah ke negara lain. Otoritas manusia akan terus mengejar kehendak untuk dapat hidup sejahtera. Justru itu alasan terjadinya suatu perpindahan, disebabkan, misalnya, masalah politik, keamanan, atau kesejahteraan. Mengaitkannya dalam konteks diaspora, paradigma self determination memberikan pemahaman akan suatu kebebasan manusia dalam penentuan nasib atas dirinya (rights to life), hak kebebasan (rights of freedom).
Diaspora secara singkat menggambarkan bagaimana manusia berperan mengekspresikan kehendak (menjalankan hak secara absolut). Murni hak yang diambil sebagai keputusan atas dirinya. Namun, tidak serta merta setiap keputusan diterima sebagai jalan keluar karena perpindahan ke luar negeri menjadi suatu wacana yang kadang dibenturkan dengan persoalan nasionalisme.
Walau begitu, pertentangan atau antitesis sebenarnya bukan dialamatkan pada keraguan akan rekognisi terhadap kebangsaan (nasionalisme warga negara), namun diaspora lebih tepat didudukan sebagai bentuk oto-kritik terhadap negara. Alasan utama pada “kegagalan” negara menyediakan keterpenuhan hak kesejahteraan bagi warganya. Penentuan nasib sendiri (self dettermination) merupakan sesuatu yang tidak bersifat mendesak ketika seseorang berada dalam keadaan menyenangkan dan bahkan menemukan kehidupan yang baik (Marcuse, 2016: 78).
Teori Migrasi menurut Everest S. Lee menjelaskan: “keputusan berpindah tempat tinggal dari satu wilayah ke wilayah lainnya adalah konsekuensi dari adanya perbedaan, faktor pendorong (push factors) relatif dipengaruhi minimnya kesempatan kerja, rendahnya ekonomi dan standar hidup. Motif dibalik perpindahan tidak secara spontan terjadi tanpa alasan. Latar belakang kesejahteraan salah satunya menjadi wacana paling dominan ketika seseorang membuat keputusan meninggalkan negara asal.
Diaspora sebagai Welfare Disscourse
Diaspora secara antusias terus digaungkan. Bahkan, kini didengungkan sebagai bagian wacana kesejahteraan (welfare disscourse), karena dibaliknya tersembunyi peluang. Melirik peluang itu, sebenarnya Indonesia berada pada situasi menggiurkan. Pertimbangannya pada kuantitas penyebaran WNI (diaspora).
Data Indonesian Diaspora Network 2015, sekitar 7 juta WNI berstatus diaspora tengah berada di luar negeri. Mengapa diaspora sebagai suatu nilai strategis bagi pembangunan? Proyeksi remitansi atau devisa yang didapat dari 4,5 juta diaspora Indonesia saja sudah diperkirakan mencapai US$ 8 miliar atau setara Rp 109 triliun per tahun. Dari segi manfaat, jaringan diaspora (diaspora network) yang terdiri dari kaum intelektual, pebisnis, investor Indonesia adalah figur-figur yang ikut menentukan pembangunan. Namun, wacana progresif jaring diaspora belum bisa dinikmati keuntungannya oleh karena terhambat alasan struktural, yaitu belum adanya legalitas aturan tentang dualisme kewarganegaraan (dual citizenship).
Status diaspora Indonesia di luar negeri masih menjadi bahasan dalam UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Dijumpai pro-kontra terkait batasan umur dalam penentuan mendapat hak warga negara, dimana keinginan para diaspora menolak penentuan mendapat status warga negara pada usia 18 tahun, usulan yang diharapkan bahwa hak mendapat status sebaiknya tidak harus menunggu sampai seseorang berusia 18 tahun (alasan nasionalisme para diaspora).
Sebagai pembanding, ada negara yang telah secara sadar memanfaatkan jaring diaspora melalui skema strategis pemanfaatan insentif pengiriman devisa dari luar ke dalam negeri (remitansi). Kebebasan dan support dari pemerintah terutama memberikan keistimewaan kepada warga negaranya (privilege).
Cina dan India, adalah negara yang sejauh ini dipandang signifikan dalam mengelola potensi jaring diaspora. Sekitar hampir 20 tahun, jumlah warga negara Cina yang tersebar di seluruh dunia mencapai 80 juta jiwa. Dalam kurun itu, Cina telah memperoleh remitansi mencapai 275 miliar dolar. Juga, India dikabarkan menempati posisi kedua dengan jumlah diaspora sebesar 60 juta jiwa (Data Kemlu, 2015).
Diaspora menjadi perbicangan yang belum menemukan titik kompromi karena masih dianggap dapat menciptakan fragmentasi-fragmentasi rumit dalam wacana keutuhan nasionalisme. Tanpa mengesampingkan wacana nasionalisme, diaspora masih dipandang sebagai jalan keluar bagi Indonesia mengejar ketertinggalan, melalui pemanfaatan transfer knowledge. Posisi negara kini sedang berada di tengah peluang penting di tengah tawaran-tawaran interkoneksi.
(Penulis merupakan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial, Universitas Padjadjaran Bandung)