MEDIAHARAPAN.COM, Jakarta – Wakil Direktur Madrasah Anti Korupsi (MAK), Gufroni SH.,MH menegaskan bahwa penegakan hukum utamanya soal mafia hukum yang masih menggurita ternyata belum menjadi perhatian serius bagi masing-masing Capres dalam Pemilu.
“Isu mafia hukum tidak menarik di bahas dalam perdebatan di dunia politik menjelang 17 April 2019,” kata Ghufroni dalam keterangannya untuk diskusi MHH PP Muhammadiyah, Jakarta, Selasa (5/3/2019).
Demikian pula, lanjut Ghufroni, dalam hiruk pikuk dunia media sosial isu ini juga tidak menjadi perhatian serius bagi masyarakat Indonesia. Padahal, semua bidang atau isu yang terjadi di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari isu penegakan hukum, dimana secara kasat mata praktik mafia hukum masih marak terjadi dan memberi dampak yang merusak dalam isu lainnya seperti ekonomi, lingkungan, politik, dan lain sebagainya.
“Untuk itulah, penting untuk disampaikan ke publik, bahwa dunia peradilan kita pun masih belum bebas dari mafia hukum yang sudah telanjur menggurita tersebut,”ujarnya.
Perlu dicarikan terobosan dan upaya untuk menjadikan dunia peradilan bersih dari mafia hukum, sehingga para pencari keadilan mendapat keadilan yang sebagaimana mestinya.
“Kita berharap tidak ada lagi praktik jual beli kasus, pungutan liar dan praktik suap yang selama ini menghinggapi dunia peradilan kita,” jelas Ghufroni.
Dalam catatan Pemberantasan korupsi, imbuhnya, sudah berapa banyak hakim yang terjerat korupsi. Data KPK tahun 2004 sampai dengan Mei 2018, ada 18 hakim yang ditetapkan tersangka mulai hakim konstitusi, hakim tinggi hingga hakim pengadilan negeri. ICW mencatat ada 28 hakim dan aparat pengadilan terjerat korupsi berdasar pemantauan korupsi pada Maret 2002 hingga November 2018.
Pengawasan terhadap Hakim
Selain korupsi, ada juga hakim yang terbukti melakukan tindak asusila. Mulai dari perselingkuhan antar hakim atau dengan pegawai pengadilan, menjadi perebut bini orang (Pebinor), melakukan hubungan layaknya suami istri dengan hakim lain bahkan ada yang dipecat lantaran ketahuan mengintip celana dalam bawahannya.
“Berdasar fakta-fakta tersebut di atas, bahwa masalah utamanya karena pengawasan yang lemah di dalam institusi peradilan terutama terhadap hakim. Baik pengawasan yang dilakukan MA secara internal dan juga eksternal yang belum memberi efek jera kepada para hakim,”terang Ghufroni.
Sambung Ghufroni, perbuatan memilukan dan memalukan yang dilakukan oleh oknum hakim haruslah membuat geram petinggi peradilan yakni Mahkamah Agung. Sebagaimana yang sudah disampaikan Ketua MA M Hatta Ali bahwa orang-orang yang bermasalah itu harus dibinasakan saja.
“Jangan kemudian jadi bisul di tubuh MA. Jadi harus ada sanksi tegas,”tuturnya.
Persoalan yang melibatkan hakim dalam berbagai kasus hukum dan asusila, serta kasus lainnya akan tetap marak terjadi bila tidak ada pengawasan yang ketat dan pemberian sanksinya yang tegas. Beberapa diantaranya juga banyak yang tidak diberi sanksi oleh MA.
Saat ini independensi di lingkungan peradilan sebagaimana dalam UU Kekuasaan Kehakiman yang bersifat merdeka justru cenderung kebablasan dengan tidak memperhatikan akuntabilitas peradilan sehingga muncul pelanggaran oleh hakim.
Untuk itulah penting kiranya pemerintah dan DPR untuk kembali serius untuk segera mengesahkan RUU Jabatan Hakim menjadi UU. Supaya ada kejelasan mengenai regulasinya.
“Tujuannya tentu saja untuk menyeimbangkan antara menjaga independensi kekuasaan kehakiman dengan akuntabilitas peradilan,” katanya.
Dalam mewujudkan keadilan, maka hakim harus diawasi oleh Komisi Yudisial. Sebagai lembaga negara, KY berwenang untuk menjaga dan menegakkan kehormatan keluhuran martabat dan perilaku hakim. (bilal)