MEDIAHARAPAN.COM, Jakarta – Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (JPH) akan memasuki babak baru. Mulai 17 Oktober 2019, JPH akan diselenggarakan oleh pemerintah, dalam hal ini Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama. Hal ini sesuai dengan amanat UU No 33 Tahun 2014 tentang JPH.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menegaskan bahwa pihaknya siap mengemban amanah penyelenggaraan jaminan produk halal.
“Sesuai amanah UU, kami sudah melakukan persiapan sejak dua tahun terakhir, persisnya sejak terbentuknya BPJPH tahun 2017. Mulai 17 Oktober 2019, kami siap menyelenggarakan jaminan produk halal,” tegas Menag usai penandatanganan MoU tentang Penyelenggaraan Layanan Sertifikasi Halal (PLSH) bagi Produk yang Wajib Bersertifikat Halal, di Kantor Wapres, Jakarta, Rabu (16/10).
MoU ditandatangani oleh sebelas pimpinan Kementerian/Lembaga Negara dan instansi. Selain Menteri Agama, hadir Menteri Kesehatan, Menteri Pertanian, Menteri Luar Negeri, Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Menteri Keuangan, Menteri Komunikasi dan Informatika, Kapolri, Kepala BPOM, Kepala BSN, dan Majelis Ulama Indonesia.
Menag menegaskan bahwa pemberlakukan kewajiban sertifikasi halal mulai 17 Oktober 2019 dilakukan secara bertahap. Tahap pertama, kewajiban ini akan diberlakukan terlebih dahulu kepada produk makanan dan minuman, serta produk jasa yang terkait dengan keduanya.
“Prosesnya akan berlangsung dari 17 Oktober 2019 sampai 17 Oktober 2024,” tegas Menag.
Tahap kedua, kewajiban sertifikasi akan diberlakukan untuk obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, dan barang gunaan. Tahap kedua ini dimulai 17 Oktober 2021 dalam rentang waktu yang berbeda. Ada yang 7 tahun, 10 tahun, ada juga 15 tahun.
“Perbedaan rentang waktu ini tergantung dari kompleksitas produk masing-masing. Penetapan itu sudah dibahas dan dikonsultasikan dengan kementerian dan lembaga terkait.
Termasuk diskusi-diskusi dengan pelaku usaha dan kalangan industri”, ungkapnya.
Sertifikasi Halal Amanat Konstitusi
Menag menyatakan dalam sejarah negara bangsa kita, kali pertama jaminan produk halal diselenggarakan oleh negara.
Sebelumnya jaminan produk halal
dilaksanakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) berlaku secara voluntary.
Lahirnya UU no 33 tahun 2014 mengubah voluntary menjadi mandatory yang pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah.
“Jaminan produk halal bukanlah bentuk diskriminasi negara kepada masyarakat dalam kehidupan beragama. Justru, penyelenggaraan JPH oleh pemerintah merupakan bentuk hadirnya negara dalam menjalankan amanat konstitusi. Saat yang sama kehadiran negara merupakan pemenuhan perlunya kepastian hukum atas kehalalan produk yang dikonsumsi, digunakan atau dimanfaatkan oleh masyarakat khususnya umat muslim”, jelasnya.
Mandatori halal, menurut Menag, memiliki implikasi yang tidak sederhana. Banyak pihak yang terlibat. Karenanya, perlu penanganan secara tepat dan
bertahap.
“Umat Islam perlu kepastian hukum terhadap produk yang dikonsumsi.
Ada kebutuhan jaminan atas kehalalan produk. Konsumen wajib menyiapkan informasi yang benar soal halal. Negara wajib melayani”, urainya.
Menag menegaskan layanan sertifikasi halal akan dilakukan serentak di berbagai daerah di Indonesia. Idealnya menjangkau seluruh pelosok Indonesia. Karena
kemudahan akses bagi masyarakat akan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap makna kewajiban sertifikat halal.
“Meskipun begitu, pelaksanaannya
akan mempertimbangkan pengalaman lembaga yang sebelumnya menangani
sertifikasi halal. Kita juga harus menjalani masa transisi ini dengan baik, lancar, dan dilakukan berkesinambungan”.
“Penyelenggaraan sertifikasi halal di Indonesia tidak berangkat dari titik nol. Sudah ada pengalaman baik dari MUI yang menangani hal ini selama 30 tahun. Tentu perbaikan dan peningkatan harus dilakukan secara bertahap. Dengan pengaturan yang lebih baik. Dengan sinergi yang baik. Insya Allah amanah ini bisa kita jalani dengan baik pula”, pungkasnya. []










