MEDIAHARAPAN.COM, Washington – Beberapa hari sebelum serangan komandan militer Libya Khalifa Haftar terhadapTripoli, Arab Saudi berjanji untuk memberikan puluhan juta dolar untuk operasi itu, demikian Wall Street Journal melaporkan pada Jumat (12/4).
Tawaran itu datang selama kunjungan Haftar ke Arab Saudi, salah satu dari banyak tawaran yang dimiliki jenderal tersebut dengan pejabat penting asing menjelang kampanye militernya pada 4 April, menurut surat kabar itu.
Selama kunjungannya, Haftar bertemu dengan Putra Mahkota Saudi Mohammed Bin Salman, kepala intelijen dan menteri dalam negeri Saudi.
Libya terus dilanda gejolak sejak 2011, ketika pemberontakan yang didukung NATO menyebabkan penggulingan dan kematian Muammar Gaddafi setelah berkuasa selama empat dekade.
Sejak itu, perpecahan politik Libya telah menghasilkan dua kutub kekuasaan bersaing: pemerintah yang didukung PBB di Tripoli dan pemerintah saingan yang berbasis di timur, di kota Bayda dan Tobruk, dengan Haftar sebagai penanggung jawab.
Kekuatan asing telah memperkuat peran komandan militer Haftar, meskipun AS dan Uni Eropa menyerukan Haftar untuk menghindari konflik militer.
“Haftar tidak akan menjadi pemain hari ini tanpa dukungan asing yang telah ia terima,” kata Wolfram Lacher, seorang ahli Libya di Institut Jerman untuk Urusan Internasional dan Keamanan kepada Journal. “Beberapa bulan terakhir, hampir semua orang naik kereta Haftar.”
Surat kabar itu mencatat, disaat AS dan Uni Eropa berusaha meyakinkan Haftar untuk menghindari konflik, pemerintah lain telah mendukungnya dengan memasok senjata dan dana, untuk memajukan tujuannya mengkonsolidasikan kekuasaan di negara itu.
“Kontak-kontak asing – bahkan untuk mendorong perdamaian – telah mengamankan status panglima perang Libya,” kata Journal.
Haftar menerima dana dari Riyadh, kata Journal mengutip pejabat Saudi, salah satu dari mereka mengatakan kepada surat kabar itu, “kami cukup murah hati.”
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengunjungi Haftar sehari setelah dia melancarkan serangan ke Tripoli, dengan harapan meyakinkan komandan untuk meninggalkan operasi dan membantu menghidupkan kembali proses perdamaian yang dipimpin PBB.
Guterres mengatakan bahwa dia meninggalkan negara itu “dengan hati yang berat dan sangat peduli.” (Anadolu/bilal)







