Nasib Ahok di pilkada Jakarta dari kacamata hukum dan politik praktis
Oleh: Denny JA
Hari ini 27 des 2016, hakim baru saja membuat putusan sela atas kasus Ahok. Pesannya jelas dan tegas. Hakim memutuskan eksepsi Ahok ditolak. Pengadilan atas terdakwa Ahok akan terus dilanjutkan hingga tuntas.
Apa arti kasus hukum itu, dalam hubungan dengan posisi Ahok di pilkada Jakarta? Skenario apa yang mungkin terjadi untuk Ahok?
Ini tiga prinsip dasar dan skenarionya.
-000-
Kemungkinan pertama, status hukum Ahok menghalangi sementara kemungkin Ahok menjadi gubernur Jakarta kembali, walau ia menang pilkada.
katakanlah Ahok menang pilkada, sementara pengadilannya belum selesai ketika era pelantikan (pilkada 15 Feb 2017). Saat itu Ahok memang tetap dilantik. Tapi saat itu juga Ahok langsung diberhentikan sementara. Ahok tetap tak bisa menjabat gubernur selama statusnya masih terdakwa (untuk hukuman penjara yang minimal 5 tahun).
Djarot yang juga dilantik sebagai wakil gubernur terpilih, langsung dilantik menjabat gubernur sementara.
Selama Ahok menjadi terdakwa dan kasus di pengadilan atasnya belum tuntas, selama itu pula Ahok tak bisa bekerja sebagai gubernur.
Lamanya pengadilan negri hingga naik banding ke Mahkamah Agung bahkan kasasi umumnya bertahun-tahun. Sepanjang waktu itu pula Ahok walaupun menang pilkada tak bisa menjabat gubernur. Djarot yang menjabat.
Kemungkinan kedua, status hukum Ahok menghalangi Ahok secara permamen, walau Ahok menang pilkada.
Jika nanti pengadilan memutuskan Ahok bersalah, berapapun hukumannya, maka Ahok diberhentikan secara permanen. Ini segera dilakukan jika keputusan pengadilan atas Ahok sudah in krach (tuntas dan final).
Semakin pasti jika Ahok diputus bersalah, walaupun ia menang pilkada, Jakarta tetap punya gubernur baru.
Untuk konteks ini, memilih Ahok beresiko sebenarnya memilih Djarot. Jika sudah dihukum permanen, Djarot permanen pula menjadi gubernur Jakarta yang baru.
Kemungkinan ketiga, status hukum Ahok tak menghalanginya menjadi Gubernur Jakarta ia Ahok menang pilkada.
Satu-satunya harapan bagi Ahok untuk menjadi gubernur, jika ia menang pilkada, adalah ia dibebaskan oleh pengadilan. Hakim memutuskan Ahok bebas atau Ahok lepas dari tuntutan hukum.
Putusan bebas untuk kasus dimana pengadilan tidak menemukan bukti yang meyakinkan bahwa Ahok bersalah.
Sementara putusan lepas untuk kasus dimana Ahok dibuktikan bersalah tapi itu bukan suatu tindak pidana.
Pertanyaannya seberapa besar kemungkinan Ahok bisa dibebaskan oleh hakim untuk tuduhan kasus penistaan agama itu?
Tentu segala hal selalu mungkin terjadi. Namun kemungkinan itu sangatlah kecil jika dilihat dari dua perspektif: yurisprudensi hukum dan kondisi politik praktis. Membebaskan Ahok probabilitynya super-super kecil, walau kemungkinan itu tak boleh dinihilkan dalam analisa akademik.
Dari kacamata yurisprudensi hukum murni, umumnya kasus penistaan agama yang menyita perhatian publik luas selalu berujung pada penjara bagi terdakwa. Landasan hukum, yurisprudensi selalu menjadi acuan hakim.
Sebut saja beberapa contoh: Kasus penistaan agama yang pernah terjadi. Ada kasus Arswendo Atmowiloto (1999), Lia Aminudian (2006), HB Jassin (1968), dan Rusgiani yang dianggap menista agama Hindu (2013). Semua berujung di penjara.
Dibanding semua itu, kasus Ahok ini jauh lebih heboh menyita publik. Demo terbesar yang pernah ada dalam sejarah Indonesia adalah gerakan 212 (2 des 2012). Itu gerakan yang melibatkan lebih sejuta massa.
Di selang seling orasi dan khotbah, dalam gerakan 212 selalu muncul yel: tangkap Ahok, penjarakan Ahok!
Jika Ahok dibebaskan, bisa dibayangkan reaksi lebih besar akan lahir dan akan dibuat gerakan “tsunami politik” berkali-kali oleh aneka segmen.
Bahkan cendikia Muslim yang tergolong terpelajar, pernah menjadi ketum Muhammadiyah, dan ketum MUI, Dien Syamsuddin sudah membuat pernyataan: “Saya sendiri yang akan memimpin perlawanan jika Ahok dibebaskan.”
Efek politik praktis jika Ahok dibebaskan tak hanya ke Ahok, bahkan mengguncang sendi politik nasional dalam waktu yang lama.
Dalam aksi protes bebasnya Ahok akan muncul aneka interpretasi dengan berbagai bumbu yang merugikan pemerintahan Jokowi.
Dari kaca mata hukum murni, apalagi jika guncangan politik nasional menjadi pertimbangan, kecil sekali kemungkinan Ahok dibebaskan/dilepaskan hakim.
-000-
Kondisi Ahok sebagai terdakwa, dan tuduhan Ahok menista agama punya efek sangat besar pula kepada voting behavior. Prilaku pemilih Jakarta, walau puas dengan kinerja Ahok, sangat dipengaruh oleh kasus itu.
Sentimen Anti Ahok di pemilih Jakarta juga mayoritas di atas 60 persen. Sulit sekali Ahok mengubah sentimen anti Ahok yang melanda mayoritas pemilih Jakarta. Apalagi waktu yang tersisa kurang dari dua bukan.
Dari total 1500 TPS yang tersebar di pilkada Jakarta, besar kemungkinan, Ahok akan kalah jika tidak di putaran pertama, maka di putaran kedua. Siapapun lawan Ahok akan menikmati limpahan suara mayoritas anti Ahok. Apalagi jika calon lawan Ahok itu punya pesona sendiri.
Dengan gambaran itu, besar kemungkinan di tahun 2017 Jakarta akan punya gubernur baru. Ini terjadi baik Ahok menang pilkada, apalagi jika ia kalah pilkada.
Itulah cara kita membaca putusan sela hakim hari ini yang menolak eksepsi Ahok, dengan mengkaitkannya kepada pilkada Jakarta.***