MEDIAHARAPAN.COM, Jakarta – Doa bersama yang dipimpin non muslim dalam upacara Hari Kesaktian Pancasila, menjadi sorotan banyak pihak. Pengurus MUI Kota Bekasi Komisi Pengkajian dan Penelitian, Wildan Hasan menegaskan bahwa pada Tahun 2015 MUI telah mengeluarkan Fatwa terkait hukum doa bersama. Salah satu bentuk doa bersama yang difatwa haram oleh MUI adalah doa yang dipimpin oleh non muslim. Umat Islam diharamkan untuk mengikuti dan mengamininya.
“Berdasarkan fatwa tersebut, di acara apapun baik kemasyarakatan maupun kenegaraan pemimpin doa haruslah seorang muslim.” kata Wildan dalam keterangannya, Kamis (3/10/2019).
Menurut Ketua MIUMI Kota Bekasi itu peristiwa di Garuda Indonesia yang menggelar upacara Hari Kesaktian Pancasila dengan doa yang dipimpin oleh non muslim sementara peserta upacaranya mayoritas muslim telah melanggar fatwa MUI.
“Pemimpin muslim di Garuda Indonesia berdosa karena telah membiarkan hal itu terjadi. Kecuali karena kejahilan atas perkara tersebut.” ujar Wildan.
Wildan mengatakan kasus tersebut hampir mirip dengan kasus yang terjadi di MPR RI, hampir saja doa dipimpin oleh non muslim.”Kita berterimakasih kepada pak Zulkifli Hasan yang telah mengambil alih pembacaan doa sehingga aqidah anggota MPR beragama Islam terselamatkan.” ucapnya.
Wildan menekankan doa adalah urusan privat antara seorang hamba dengan Tuhannya. Bahkan doa adalah urusan aqidah bagi muslim. Oleh karena itu bagi seorang muslim tidak mungkin dan tidak boleh mengaminkan doa yang dipanjatkan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Meskipun doanya berisi permohonan kebaikan.
“Dalih toleransi bukan alasan bagi seorang non muslim memimpin doa umat Islam. Toleransi adalah menghargai dan membiarkan keyakinan dan praktek peribadatan pemeluk agama lain. Melakukan doa bersama yang dipimpin oleh non muslim justru adalah bentuk intervensi agama bukan lagi toleransi.” jelas Anggota Majelis Tafkir PP Persis itu.
Wildan melanjutkan, alasan karena selama ini doa selalu dipimpin oleh muslim sehingga demi kebersamaan lalu pemimpin doa dipergilirkan adalah tidak tepat. Muslim adalah mayoritas di negeri dan di hampir seluruh wilayah Indonesia. Maka wajar pemimpin doa harus muslim. Lagipula setiap kali akan dibacakan doa yang dipimpin oleh muslim, non muslim selalu dipersilahkan untuk berdoa dengan keyakinannya masing masing.
“Sebaliknya, di wilayah atau di instansi yang mayoritas non muslim, doa dipimpin oleh non muslim pula.” tukasnya.
Wildan mengatakan juga bahwa pihak Garuda Indonesia dan
pihak pihak lainnya semestinya memiliki sensitifitas terkait perkara ini. “Hendaklah hal yang semestinya tidak menimbulkan masalah ini menjadi preseden buruk bagi kehidupan keberagamaan di Indonesia yang selama ini berjalan cukup baik.” tandasnya. []