MEDIAHARAPAN.COM, Jakarta (17/04) – Harga minyak kembali mengalami lonjakan, selasa kemarin naik satu persen. Pertempuran di Libya serta penurunan ekspor Venezuela dan Iran menjadi penyebab kekhawatiran tentang pengetatan pasokan global. Selain itu ketidakpastian yang berlarut-larut seputar pemangkasan produksi yang dipimpin OPEC juga membatasi kenaikan.
Minyak mentah berjangka Brent, patokan internasional, menguat 54 sen, atau 0,8 persen, menjadi USD71,72 per barel, demikian laporan Reuters, di New York, Selasa (16/4) atau Rabu (17/4) pagi WIB.
Sementara itu, patokan Amerika Serikat, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI), melesat 65 sen, atau satu persen, menjadi USD64,05 per barel.
kenaikan harga dalam perdagangan pasca-settlement setelah data dari kelompok industri American Petroleum Institute menunjukkan stok minyak mentah AS turun, pekan lalu, menyusut 3,1 juta barel, dibandingkan ekspektasi analis untuk kenaikan 1,7 juta barel.
Stok bensin merosot 3,6 juta barel, kata API, lebih besar dari perkiraan penurunan 2,1 juta barel.
Data resmi pemerintah Amerika akan dirilis Rabu atau Kamis (18/4) dini hari WIB.
Di Libya, pertempuran antara Tentara Nasional Libya pimpinan Khalifa Haftar dan pemerintah yang diakui secara internasional telah meningkatkan prospek pasokan yang lebih rendah dari anggota OPEC itu.
Sanksi AS terhadap dua anggota lainnya, Iran dan Venezuela, sudah memotong pengiriman. Ekspor minyak mentah Iran turun pada April ke level harian terendah tahun ini, menurut data tanker dan sumber industri.
“Pasokan global turun lebih cepat dari perkiraan banyak kalangan. Pasar tidak seimbang,” kata Phil Flynn, analis Price Futures Group di Chicago.
Menambah tekanan ke bawah, bagaimanapun, adalah kekhawatiran tentang kesediaan Rusia untuk bertahan dengan pengurangan pasokan yang dipimpin OPEC dan ekspektasi persediaan AS yang lebih tinggi.
Harga minyak melonjak lebih dari 30 persen sepanjang tahun ini, dibantu oleh kesepakatan antara Organisasi Negara Eksportir Minyak dan produsen lain termasuk Rusia. Kelompok ini telah memangkas produksi sejak 1 Januari dan akan memutuskan pada Juni apakah akan melanjutkan kesepakatan tersebut.
Gazprom Neft, anak usaha raksasa gas Rusia, Gazprom, memperkirakan kesepakatan minyak global antara OPEC dan sekutunya akan berakhir pada semester pertama tahun ini, kata pejabat perusahaan itu, Selasa.
Rusia dan kelompok produsen dapat memutuskan untuk meningkatkan produksi guna memperjuangkan pangsa pasar dengan Amerika Serikat, kata kata Menteri Keuangan Anton Siluanov, seperti dilansir kantor berita TASS , Sabtu.
“Ada kekhawatiran yang berkembang bahwa Rusia tidak akan menyetujui perpanjangan pemotongan produksi dan kita bisa melihat mereka secara resmi mengabaikannya dalam beberapa bulan mendatang,” kata Edward Moya, analis OANDA.