MEDIAHARAPAN.COM, Jakarta-Indonesia memang dikenal sebagai penghasil kain batik yang khas dan setiap daerah memiliki ciri khas yang berbeda, seperti halnya Batik Tanah Liek Tanah Datar Provinsi Sumatera Barat tidak sama dengan batik-batik yang diproduksi di palau Jawa dan lainnya.
Tanah Datar memiliki potensi alam yang luar biasa. Di samping pariwisata alam, budaya, sejarah juga kaya akan etnik, kesenian dan ragam kerajinan baik itu tenun songket Pandai Sikek Kecamatan X Koto, Pamusihan, Tanjuang Modang Kecamatan Lintau Buo Utara, juga ada batik yang dikenal batik tanah liek (tanah liat).
Ditilik salah satunya seperti Batik Tanah Liek Hj. Wirda Hanim Sumaniak Batusangkar Kabupaten Tanah Datar. Batik Tanah Liek dari bahan pewarna dasar tanah liat sebagai bahan pencelup kain ini ternyata sangat baik dan menimbulkan warna yang khas ibaratnya tanah liat itu sendiri.
Kain mula-mula direndam atau dicelup selama satu minggu dengan tanah liat, kemudian dicuci dan dicelup lagi dengan pewarna alam lainnya yang berasal dari tumbu-tumbuhan.
Diceritakan Roza anak dari Hj. Wirda Hanim ketika saat mengikuti pameran produk kerajinan bertaraf internasional terbesar di Asia Tenggara, International Handicraf Trade Fair (Inacraft) 2019, Sabtu (27/04) di Jakarta Convention Center (JCC).
Berawal dari Ibunya saat menyaksikan acara adat dikampungnya Nagari Sumaniak Tanah Datar Sumatera Barat pada tahun 1993 dan Ia bertekat untuk memproduksi kembali Batik Tanah Liek ini.
Ketika acara adat dikampungnya itu Ibu nya melihat para Datuk-datuk dan Bundo Kanduang (petinggi adat kaum) memakain kain bermotif batik yang sudah kusam dan terlihat sobek karena lapuk dimakan usia. Dan Ia pun (Ibu Roza) mencari informasi dan diketahuinya bahwa batik tanah liek ini tidak lagi diproduksi semenjak 70 tahun silam.
Bermodalkan tekad yang kuat Hj. Wirda Hanim berniat memperbaharui dan meproduksi kembali kain tersebut walau Dia tak memiliki ilmu membatik. Namun dirinya tak patah semangat.
Pada saat itu, beliau menemui guru batik di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Kota Padang, saat ini Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dengan cara berkunjung langsung ke sekolah dan rumahnya, dengan harapan bisa bekerja sama. Tetapi, guru tersebut hanya menyuruh siswa nya saja. Walaupun begitu Hj. Wirda Hanim tetap membiayainya, mulai dari membeli kain dan obat-obatan membatik, namun hasil para siswa ini tidak memuaskan. Akhirnya Hj. Wirda Hanim tidak melanjutkan kerja sama lagi.
Tak putus asa Wirda Hanim terus mencoba membuat ulang motif kain kuno ke kertas. Bukan itu saja, dirinya juga membuat motif yang terdapat di Rumah Gadang. Hal tersebut ia lakukan lebih kurang selama 6 bulan.
“Sembari menunggu jalan keluarnya, saya tetap mencari dan meniru motif-motif dari kain batik tanah liek kuno di kampung saya, motif kuno tersebut adalah kuda laut dan burung hong, di samping saya juga mengambil motif Minang dari ukiran dan pakaian, serta membuat motif-motif baru yang sebagian perpaduan dari motif-motif itu.” ulas Roza menceritakan.
Tepat pada saat itu,Dewan Kerajinan Nasional Provinsi Sumatera Baratmengadakan pelatihan batik tanah liek dengan jatah peserta sebanyak 20 orang yang berasal dari 10 orang dari Kabupaten Solok dan 10 orang lagi dari Kabupaten Pesisir Selatan. Kota Padang memang tidak diikut sertakan karena kebanyakan orang Padang memiliki usaha bordir, termasuk beliau sendiri yang memiliki usaha bordir“Monalisa”.
Walaupun tidak ada jatah peserta, bu Hj. Wirda Hanim tetap ingin ikut. Akhirnya beliau ikut dengan biaya sendiri. Namun, pelatihan yang diikutinya masih belum memuaskan.
Pada tahun 1995, dengan meminta izin suami, Ruslan Majid, beliau pergi ke Jogjakarta sekaligus meminjam uang sebanyak 20 juta rupiah sebagai modal dengan tujuan untuk belajar batik disana. Berselang hanya 2 hari saja, beliau pun kembali ke Padang.
Selain merasa tidak betah, beliau juga tidak bisa meninggalkan usaha bordirnya dengan karyawan sebanyak 20 orang yang menetap dirumahnya. Wirda Hanim meminta kepada Dewan Batik Jogjakarta mengirimkan pengajar batik ke Padang yang beliau kontrak selama 3 bulan. Tapi sebelumnya, Wirda Hanim menitipkan contoh kain Batik Tanah Liek dengan harapan dapat dibuatkan motif dan warna sesuai contoh kain tersebut.
Sesampainya di Padang, pengajar dan seorang pemuda yang dibawanya dari Jogjakarta tersebut masih belum mampu membuat kain Batik Tanah Liek sesuai contoh yang diberikan. Bahkan setelah 2 bulan bekerja dengan beliau di Padang, tidak satu lembar kain pun yang berhasil menyerupai warna kain Batik Tanah Liek.
Berkat kegigihannya dan terus belajar serta mencoba hingga 10 tahun, barulah Ia mendapatkan batik tanah liek sesuai dengan contoh yang ada dan sudah dipatenkannya dengan nama, “Batik Tanah Liek” ini, tutup Roza.
Sekarang Hj. Wirda Hanim terus melestarikan batik tanah liek karyanya di show room miliknya Jl. Sawahan Dalam No.33 Kota Padang Sumatera Barat, dan Jl. Veteran No. 11 Duren Tiga Pancoran, Jakarta Selatan dan workshop Jl. Koto Piliang Dalimo Singkek Nagari Sumaniak-Batusangkar Tanah Datar.
Wirda Hanim juga mendapatkan berbagai penghargaan baik dari perintah pusat, pemerintah daerah dan swasta seperti Upakarti Award tahun 2006, MARKPLUS tahun 2014 sebagai marketer of the year, UNESCO PBB sebagai masteroiece of the oral and intangible heritage of humanity pada tahun 2009.
Hal senada juga disampaikan Ketua Dekranasda Tanah Datar Ny. Emi Irdinansyah Tarmizi yang ingin melestarikan kekayaan potensi Tanah Datar dan nilai-nilai histori yang tertuang dalam berbagai aneka kerajinan daerah yang dijuluki Luak Nan Tuo di Provinsi Sumatera Barat itu.
Menurutnya kekayaan intelektual daerah harus dijaga dan dilestarikan, dengan dasar itu dekranasda bersama pemerintah daerah setempat mendirikan gedung promosi dan pusat oleh-oleh di Kota Batusangkar dan itu juga didukung dengan telah berdirinya sentra tenun kriya minang yang dilengkapi rusunawa di Lintau Tanah Datar yang dbantu pemerintah pusat.
Saat ini batik tanah lieknya pun ikut pada ajang Inacraft tahun 2019 bersama songket pandai sikek (Pusako Minang) di Hall B 364 JCC Jakarta Pusat. (Irfan F)