Oleh: Donny Susilo, MBA
MEDIAHARAPAN.COM – Aborsi yang dulu ditentang oleh Indonesia dalam konvensi PBB bersamaan dengan negara-negara muslim dunia, Amerika latin dan Vietnam kini menjadi buah simalakama buat Indonesia sendiri, pasalnya ktita melihat hal itu sebagai penyabab muculnya kontorversi di masyarakat kita yang pada akhirnya membuat orang ragu akan konsistensi pemimpin bangsa Indonesia terhadap pernyataannya sendiri.
Di Indonesia aborsi dinyatakan legal jika dan hanya jika itu bertujuan untuk menyelamatkan nyawa ibu yang sedang mengandung dan mau melahirkan, fatwa Majlis Tarjih Muhammadiyah tahun 1989 pun juga berkata demikian, menyatakan bahwa aborsi dengan alasan medis diperbolehkan dan aborsi dengan alasan non medis diharamkan. Namun pada kenyataannya, aborsi di Indonesia tidak menyelamatkan nyawa melainkan malah mengakibatkan kematian 11% dari jumlah ibu hamil dan melahirkan yaitu sekitar 390 per 100.000 kelahiran hidup (www.bps.go.id). Ironisnya angka itu angka resmi dari pemerintah dan itu masih belum termasuk angka-angka kematian dari aborsi anak-anak remaja yang mengalami kecelakaan akibat pergaulan bebas, kabarnya aborsi yang satu ini sudah mencapai 5 juta kasus per tahun.
TERKAIT DENGAN FENOMENA DI ATAS
Kita perlu mempertanyakan bagaimana bisa praktek aborsi untuk anak remaja jauh lebih banyak datanya dibandingkan untuk ibu hamil dan melahirkan, bukankah itu berarti izin kebidanan untuk aborsi telah disalahgunakan sehingga menjadi tempat yang memfasilitasi pergaulan bebas anak-anak remaja khususnya di kota besar seperti ibu kota. 3 dari 5 bidan di kota Jakarta bagian selatan mengakui bahwa mereka lebih tergiur untuk melakukan penyimpangan tersebut karena permintaannya jauh lebih banyak dan biaya yang dikenakan jauh lebih mahal. Analisanya adalah karena tindakan aborsi semacam itu adalah hal yang ilegal menurut hukum sehingga etika yang berfungsi sebagai peninjau sistem nilai yang ada juga secara langsung mengikuti aturan hukum tersebut, dan konsekuensinya adalah segala hal yang menyimpang dari etika yang ada akan menimbulkan resiko yang jauh lebih besar dari biasanya dan ini yang membuat power of supplier menjadi lebih tinggi sehingga dapat memainkan harga di pasaran.
Menilik dari kasus di atas, ada baiknya kita mencoba memberikan masukan kepada pemerintah untuk bisa memahami konsep ini, dan bisa mengangani kasus penyalahgunaan aborsi tersebut dengan tidak melarangnya, namun memberikan ketentuan harga yang rendah untuk penjual jasa sehingga motivasi mereka berkurang, menayangkan iklan layanan mengenai dampak seks bebas, aborsi dan bagaimana sakitnya juga bahkan bisa memasukkan boneka seks dari USA dan china juga robot seks dari Jepang. Ini dapat menjadi strategy handal untuk dapat menghentikan praktek seks bebas yang berujung pada aborsi.
Di negara-negara maju seperti Jepang, China dan USA sudah ada produk-produk semacam itu yang tujuannya untuk dapat mengurangi kontak dan pertukaran cairan secara langsung dengan lawan jenis, bisnis itu sudah berkembang dan bahkan jika kita mau melihat langsung bagaimana miripnya robot seks buatan Jepang dengan wanita asli, fleksibelitas kulitnya dan wajahnya sudah disesuaikan dengan orang asli. Bagaiman dengan etikanya? Mungkin jika bisnis itu sudah masuk ke Indonesia, akan banyak tentangan dari segala pihak karena itu sudah tidak sesuai dengan nilai-nilai keagamaan yang menentang adanya barang-barang perangsang nafsu yang mengakibatkan turunnya pengendalian diri terhadap rangsangan dan barang pemuas nafsu seperti itu. Namun apakah dengan mengajarkan nilai-nilai agama, pergaulan bebas bisa berkurang? Itu adalah pertanyaan yang ujung-ujungnya adalah menutup kedua telinga kita kemajuan-kemajuan dan budaya negara luar saja, di dalam kasus ini sebenarnya bisa kita ulas bagaimana sebuah etika bisa berubah, di Jepang sebelumnya robot seks itu juga sudah ditentang keras namun pada akhirnya image masyarakat berubah karena pemerintah menyuarakan kelebihan bisnis itu dan bagaimana mekanismenya sehingga itu dapat mengurangi angka kasus pemerkosaan dan hamil di luar nikah. Sehingga di sini bisa dilihat bahwa lembaga pemerintah dan lembaga agama sebenarnya adalah 2 faktor besar yang dapat menciptakan dan juga merubah etika bisnis yang ada. Selain itu juga bisa etika bisnis itu di pengaruhi oleh lembaga hukum, pendidikan dan lain sebagainya. (***)
Donny Susilo, MBA : Pendiri cumajob.com dan juga business plan consultant di Donny and Partners, menyelesaikan studi S1 di Universitas Ma Chung, Malang dan S2 di Asia University, Taiwan dengan beasiswa, bercita-cita ingin mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia.