Oleh: Everd Scor Rider Daniel
Agenda besar keberadaan Pers bertujuan untuk merawat kebebasan bangsa. Kebebasan dimaksud searah dengan tujuan demokrasi yaitu hak berbicara, beraspirasi. Lewat upaya itu, pers atau yang diperankan dalam bentuk media (cetak, elektronik) memiliki sentralitas merawat peradaban sosial, ekonomi, dan politik.
Kebutuhan akan informasi yang terus meningkat, di satu sisi menimbulkan desakan untuk meningkatkan profesionalisme media. Media dituntut lebih profesional menjaga keutuhan informasi. Lebih daripada itu, peran media paling utama dan esensial adalah menyelamatkan fakta. Kebenaran atau fakta adalah yang paling tinggi. Produksi berita dengan beragam cara apapun yang terpenting adalah melekat dengan kenyataan.
Media masih terus ada dan dianggap penting karena dipercaya dapat mengungkap fakta dengan cara-cara objektif, mengungkap sesuai apa yang terjadi dan harus diperkuat dengan prinsip akurasi (tepat sasaran). Hal-hal berkaitan dengan eksistensi informasi tidak bisa dibiarkan apalagi dikorbankan tanpa kontrol.
Artinya, pemberitaan atau keutuhan informasi perlu diikat oleh syarat profesionalisme media: objektif, independen, profesional dan orisinil. Keseimbangan media dalam memproduksi berita tentu membutuhkan upaya kontrol (check and ballances) dari masyarakat, karena objektifitas tidak bersifat tunggal (menurut sudut pandang tertentu), melainkan sesuai kenyataan yang menurut semua orang benar.
Hoax : Mengaburkan Fakta
Persoalan sepak terjang media sering disandung distorsi informasi, sebagaimana terjadi saat ini pragmatisme komersial dalam mengemas kabar. Fokus yang menjadi atensi masyarakat hari ini soal bagaimana kebenaran dapat dihadirkan ke publik secara utuh dan profesional.
Maksud dari kebenaran dalam hal pemberitaan adalah tentang ruang gerak informasi yang objektif. Informasi yang diproduksi media mestinya bebas dari agenda setting, yang mana akan mereduksi orisinalitas. Dalam proses mencapai kebenaran dari sudut pandang informasi, Media berperan untuk membangun relasi dengan kenyataan atas dasar prinsip orisinalitas (keaslian/sahih), unsur penting dalam mengawal objektifitas kepada publik.
Di era dinamika digital atau media sosial hari ini, informasi cenderung mudah didesain. Dengan kata lain, peluang modifikasi fakta menjadi terbuka lebar. Performa visual media kadang menggelapkan mata pemirsa. Mengemas konten namun sebagian substansi tidak sesuai realitas. Sering terjadi rekayasa maupun distorsi informasi dalam pemberitaan. Seperti yang saat ini terjadi, konstelasi media massa akhir-akhir ini terombang-ambing oleh beredarnya kabar hoax (palsu).
Fenomena hoax sebagai bentuk ancaman dan keprihatinan besar terhadap eksistensi media massa karena yang ditunggangi dalam pemberitaan bukanlah sebuah fakta. Kabar hoax yang belakangan ramai beredar merupakan bagian dari kepentingan merekayasa fakta. Semua upaya itu adalah intrik kepentingan atau usaha mencari popularitas yang sebenarnya berada di luar legalitas Pers. Pemalsuan berita menjadi ancaman bagi publik yang menerima begitu saja tanpa ada verifikasi.
Keberadaan media-media nasional ataupun lokal dituntut membangun legitimasi Pers yang merdeka, bebas dari segala tekanan atau iming-iming (reward). Media sebagai pilar ke-empat demokrasi sangat sentral mengawal kejadian, fakta, dan membawa ruang kebebasan bagi masyarakat. Untuk itu, media seharusnya ada untuk rakyat dengan mengutamakan prinsip jurnalistik profesional.
Kini diakui belum semua media mematuhi kode etik jurnalistik, misalnya, dalam upaya menyampaikan fakta secara utuh kepada masyarakat. Akibatnya, muncul tendensi atau anggapan publik melihat media, dimana bukan lagi murni mengabarkan kenyataan, tetapi pada kepentingan atau keberpihakan.
Prasangka yang kemudian muncul di masyarakat adalah “who’s behind the news? (siapa dibalik berita). Pertanyaan ini sebenarnya menunjukan rasa skeptis, bagian dari bentuk kecurigaan publik terhadap media. Publik merasa gerah, dalam situasi atau topik pemberitaan tertentu, yang ‘kelihatannya’, terkadang belum tentu dimuat sesuai kenyataan, dibawah kendali intrik yang dikemas dibalik layar.
Dalam menjaga wibawanya, media berperan sesuai hakekat netral atau memihak pada kebenaran bukan kepentingan, karena tugas media adalah mencerdaskan publik melalui informasi. Netralitas yang justru menjadi syarat penting bagi media, kadang tergadaikan di tengah arus informasi. Netralitas yang diharapkan tidak berpihak pada siapapun selain rakyat, dengan harapan terjadi keseimbangan fakta dalam pemberitaan dan realitas sesungguhnya ditempatkan diatas segalanya, khususnya dalam kegiatan jurnalistik.
Fakta adalah Segalanya
Fakta adalah sesuatu yang murni tanpa rekayasa. Sebagai Media, fakta adalah kenyataan yang harus didistribusikan lewat informasi. Apa yang diterjemahkan benar adanya, karena media adalah cermin realitas. Ketika setiap perusahaan media berhasil memaknai itu, akan ada beragam keuntungan, masyarakat mendapat pengetahuan, dan kesempatan menilai kenyataan melalui opini atau solusi.
Keberadaan media adalah untuk menjembatani kebenaran agar tersampaikan kepada masyarakat. Ada baiknya, merenungi pernyataan yang diucap Ludwig Wittgenstein “the world is the totality of facts, not of things”, dunia terdiri dari totalitas fakta. Itu berarti, fakta adalah segalanya.
Sebagaimana yang juga diungkap Daniel Moynihan “everyone is entitled to his own opinion, but not his own facts”, kalimat ini sebagai bentuk penegasan bahwa setiap orang berhak atas pendapatnya, tetapi bukan untuk sebuah fakta. Konteks ini memberi pemahaman bahwa seseorang tidak bisa sesuka dirinya mengargumentasikan fakta. Tetapi, fakta adalah fakta. Kenyataan adalah bentuk visual yang kehadirannya bukan untuk dipertentangkan tetapi bagaimana mencari cara atau jalan keluar untuk menyikapinya. Konteks ini relevan ketika menyinggung fakta dalam suatu pemberitaan. Fakta tidak bisa disengaja atau di-setting demi kepentingan orang/pihak yang mempublikasi berita, tetapi fakta berpihak pada kebenaran.
Dewasa ini, peran Pers begitu sangat diuji dalam konteks menyelamatkan fakta. Salah satu upaya Verifikasi Perusahaan Pers yang dilakukan Dewan Pers, menjadi inisiatif baik menyelamatkan eksistensi media massa di tanah air. Eksistensi Pers menjadi perayaan kebebasan, memerdekakan informasi dari segala tekanan kepentingan.
(Penulis merupakan Alumni Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta. Saat ini sedang menempuh Program Magister Ilmu Kesejahteraan Sosial di Universitas Padjadjaran, Bandung)