Bukittinggi – Penyataan Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian yang menyebutkan bahwa Fatwa MUI bukanlah hukum Positif yang harus ditegakkan, ditanggapi oleh Ketua MUI Sumatera Barat, Buya gusrizal Gazahar sebagai bentuk arogansi.
Pernyataannya Ketua MUI Sumbar ini itu ditulis pada dinding Acount facebooknya hari ini selasa (20/12/2016). dengan Judul “Disinilah Dibutuhkan Kearifan”.
Dalam tulisanya itu Gusrizal menilai bahwa pernyataan tersebut bersebrangan dan justeru akan memperkeruh suasana, karena dalam beberapa bidang kehidupan bernegara, fatwa MUI telah menjadi rujukan seperti dalam produk perbankan syari’ah dan produk halal justeru fatwa MUI lah yang menjadi rujukan.
Menurut Gusrizal, Fatwa walaupun bukan hukum positif suatu negeri tetaplah menjadi rujukan umat Islam karena ia terambil dari dalil-dalil Syari’at Islam. Pada puncak dalil itu adalah sumber hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw.
Berikut catatan lengkap Buya Gusrizal pada acount Facebooknya:
“Di Sinilah Dibutuhkan Kearifan”
Oleh: Buya Gusrizal Gazahar
Pernyataan “fatwa MUI bukan rujukan hukum positif di negara ini” tidak benar secara total dan tidak pula salah secara keseluruhan.
Dalam beberapa bidang kehidupan bernegara, fatwa MUI telah menjadi rujukan seperti dalam produk perbankan syari’ah dan produk halal, fatwa MUI lah yang menjadi rujukan.
Dalam hubungan antar umat beragama, MUI menjadi bagian yang selama ini terus diminta keaktifannya untuk bersama menjalin toleransi. Bahkan ketika fatwa tentang terorisme dan korupsi keluar, gegap gempita puja dan puji disoraksoraikan:
Itu lah fatwa MUI !
Kadang menarik, menggemaskan bahkan menjengkelkan bagi mereka yang memiliki kelabilan emosi dan dihantui ketakutan oleh Islam.
Namun yang perlu menjadi catatan penting adalah penegasan bahwa “fatwa MUI bukanlah rujukan hukum positif di negara”, menurut saya adalah sebentuk “arogansi” dan “pernyataan berseberangan” yang hanya akan memperkeruh kehidupan berbangsa saja.
Fatwa walaupun bukan hukum positif suatu negeri tetaplah menjadi rujukan umat Islam karena ia terambil dari dalil-dalil Syari’at Islam. Pada puncak dalil itu adalah sumber hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw.
Penegasan seperti itu bisa semakin memperkuat dugaan bahwa penguasa berusaha keras memperhadap-hadapkan negara dengan Islam dan umat Islam sebagai agama dan umat mayoritas bangsa ini.
Konsep perpaduan antara kecintaan kepada tanah air dengan kecintaan kepada Islam yang telah dirumuskan oleh ulama, diremukkan oleh pernyataan tidak bijak seperti itu.
Mungkin banyak yang lupa apalagi orang-orang yang dititipi amanah untuk memimpin negeri ini, saya hanya mengingatkan !
Bila tuan-tuan membuat konsep pembenturan antara hukum buatan manusia dengan hukum yang bersumber dari wahyu Allah swt kemudian tuan-tuan sudutkan unat Islam untuk memilihnya maka yakinlah !
“SELAMA ADA KEIMANAN YANG HAKIKI DALAM DIRI SEORANG MUKMIN, TAK AKAN IA CAMPAKKAN HUKUM ALLAH SWT UNTUK BERSUJUD KEPADA HUKUM BUATAN MANUSIA”
Sikap itu merupakan perwujudan dari kepatuhan kepada tuntunan Allah swt:
{وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُّبِينًا} [الأحزاب : 36]
“Dan tidak ada hak bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (QS. al-Ahzab 33:36)
Karena itu, saya berharap kepada mereka yang merasa ditokohkan di negeri ini, “berhentilah mempertentangkan antara ketundukan kepada Islam dan kesetiaan kepada negara” !
Bila tuan-tuan tetap menggiring opini seperti ini, berarti tuan-tuan telah menggiring bangsa ini kepada kondisi kehilangan jati diri !
Disinilah dituntut kearifan tuan-tuan sebagai negarawan kalaupun bukan “mukmin hakiki”.