Noor Azhari. Dok Pribadi dSalah satu tantangan besar dalam reformasi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) adalah menghapus dikotomi antara perwira lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) dan mereka yang berasal dari jalur non-Akpol. Sejauh ini, jabatan-jabatan strategis, termasuk posisi Kapolri maupun jabatan-jabatan eselon pembantu pimpinan di Mabes Polri hampir selalu dipegang perwira jebolan Akpol.
Saat ini, Presiden Prabowo Subianto memiliki peluang besar untuk mencetak sejarah baru dalam kepemimpinan Polri dengan menempatkan perwira terbaik tanpa memandang latar belakang pendidikan mereka. Langkah ini tidak hanya akan meneguhkan prinsip equality before the law, tetapi juga meningkatkan profesionalisme dan efektivitas institusi kepolisian itu sendiri.
Prinsip Fundamental
Pada sistem demokrasi modern, kesetaraan merupakan prinsip fundamental yang dijamin konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Artinya, setiap warga negara, termasuk anggota Polri, memiliki hak dan peluang yang sama dalam pengabdian kepada negara. Lebih lanjut, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri tidak pernah menyebutkan bahwa pejabat struktural di Polri, termasuk Kapolri, harus berasal dari Akpol.
Pasal 11 ayat (6) UU Polri menegaskan, calon Kapolri diusulkan oleh Presiden berdasarkan pertimbangan Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi (Wanjakti) Polri. Ketentuan ini membuka peluang bagi semua perwira tinggi Polri untuk menduduki posisi tertinggi, tanpa terkecuali. Namun, dalam praktiknya, kepemimpinan Polri masih didominasi lulusan Akpol.
Ini bukan hanya persoalan tradisi, tetapi juga menunjukkan adanya struktur yang secara tidak langsung membatasi kesempatan bagi perwira dari jalur non-Akpol untuk mencapai puncak kepemimpinan. Padahal, sejarah telah menunjukkan bahwa profesionalisme seorang perwira tidak semata ditentukan oleh jalur pendidikannya, melainkan oleh pengalaman, integritas, dan kompetensinya dalam menjalankan tugas.
Belajar dari Keputusan Berani Jokowi
Presiden ke-7 RI Joko Widodo telah membuktikan bahwa kebijakan berbasis kesetaraan dapat membawa perubahan signifikan dalam tubuh Polri. Keputusannya menunjuk Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebagai Kapolri pada tahun 2021 menjadi bukti nyata bahwa kepemimpinan Polri tidak dipengaruhi oleh faktor agama. Listyo Sigit menjadi Kapolri pertama dalam sejarah yang berasal dari kalangan non-Muslim, sebuah langkah progresif yang menegaskan bahwa kepemimpinan di institusi negara harus didasarkan pada profesionalisme dan bukan identitas primordial.
Keberhasilan Jokowi dalam menciptakan preseden positif ini seharusnya menjadi dasar dan inspirasi bagi Prabowo untuk melangkah lebih jauh untuk menghapus sekat-sekat yang membatasi kesempatan perwira non-Akpol untuk menjadi Kapolri. Jika faktor agama saja tidak menjadi penghalang, maka asal pendidikan pun seharusnya tidak lagi dijadikan faktor pembeda.
Praktik Meritokrasi
Jika kita melihat praktik di negara-negara lain, sistem kepolisian di banyak negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia tidak membatasi kepemimpinan hanya bagi mereka yang berasal dari akademi kepolisian tertentu. Di Amerika Serikat, misalnya, kepala kepolisian di tingkat federal maupun negara bagian diangkat berdasarkan pengalaman, rekam jejak, serta kemampuan manajerial mereka. Bahkan, beberapa kepala kepolisian berasal dari latar belakang profesional lain, seperti hukum dan administrasi publik.
Sistem yang berbasis pada meritokrasi ini terbukti efektif dalam menciptakan kepolisian yang lebih profesional, independen, dan akuntabel. Indonesia perlu belajar dari pengalaman ini jika ingin mewujudkan reformasi kepolisian yang sejati.
Keuntungan Menghapus Dikotomi
Menghapus dikotomi antara perwira Akpol dan non-Akpol dalam kepemimpinan Polri akan membawa banyak manfaat, antara lain dapat meningkatkan profesionalisme. Sebab, dengan membuka kesempatan bagi semua perwira tinggi, persaingan akan lebih sehat dan berbasis kompetensi, bukan semata-mata jalur pendidikan awal mereka.
Selain itu, akan memperkuat solidaritas internal. Kondisi saat ini terlihat seakan ada kesenjangan psikologis antara perwira Akpol dan non-Akpol dalam struktur Polri. Menghilangkan sekat ini akan meningkatkan solidaritas dan mengurangi potensi ketidakpuasan di dalam institusi. Menghapus dikotomi ini juga akan meningkatkan kepercayaan publik. Sebab, publik akan lebih percaya pada Polri jika institusi ini menunjukkan komitmen terhadap prinsip kesetaraan dan meritokrasi dalam sistem kepemimpinannya.
Selanjutnya, Polri akan dapat memanfaatkan SDM secara optimal. Karena kondisi saat ini banyak terdapat perwira non-Akpol yang memiliki pengalaman lapangan yang luas karena mereka memulai karier dari bawah dan dibekali kompetensi keilmuan serta pengetahuan formal lebih mumpuni secara akademik. Pengalaman dan kompetensi ini sangat berharga dalam memahami dinamika sosial dan menjaga keamanan ketertiban masyarakat.
Prabowo dan Kesempatan Mencetak Sejarah
Sebagai Presiden, Prabowo Subianto memiliki momentum emas untuk membawa perubahan signifikan dalam kepemimpinan Polri. Jika ia ingin meninggalkan warisan reformasi yang bermakna, maka menghapus dikotomi Akpol dan non-Akpol harus menjadi salah satu agendanya.
Langkah ini tidak hanya akan memperkuat Polri sebagai institusi yang profesional dan modern, tetapi juga menegaskan bahwa kepemimpinan nasional di era Prabowo benar-benar berpihak pada prinsip kesetaraan dan keadilan. Apalagi, jika Jokowi mampu membuat sejarah dengan menunjuk Kapolri non-Muslim pertama, maka Prabowo bisa melanjutkannya dengan menunjuk Kapolri dari jalur non-Akpol.
Reformasi Polri bukan sekadar wacana, tetapi sebuah keharusan dalam perbaikan tata kelola manajemen organisasi Polri. Sehingga, keputusan perbaikan ini ada di tangan Prabowo, apakah ia akan mencetak sejarah baru atau tetap mempertahankan status quo?.
Penulis : Noor Azhari (Direktur Merah Putih Stratejik Institut (MPSI))