• Redaksi
  • Kode Etik
Media Harapan
  • Home
  • Nasional
    • Hukum & Kriminal
    • Daerah
    • Politik
    • Peristiwa
  • Ekonomi
    • Bisnis
    • Keuangan
    • Macro
    • Pojok UKM
  • Internasional
  • Tekno
    • Teknologi
    • Telekomunikasi
  • Olahraga
    • Arena
    • Hobi
  • Khazanah
    • Opini
    • Profil
  • Sosial
    • CSR
    • Komunitas
  • Video
No Result
View All Result
  • Home
  • Nasional
    • Hukum & Kriminal
    • Daerah
    • Politik
    • Peristiwa
  • Ekonomi
    • Bisnis
    • Keuangan
    • Macro
    • Pojok UKM
  • Internasional
  • Tekno
    • Teknologi
    • Telekomunikasi
  • Olahraga
    • Arena
    • Hobi
  • Khazanah
    • Opini
    • Profil
  • Sosial
    • CSR
    • Komunitas
  • Video
No Result
View All Result
Media Harapan
No Result
View All Result
Home Citizen

Pajak Tebu, Potret Kalap Kaum Neolib

by Media Harapan
10 July 2017 19:02
in Citizen, Featured, Opini
0

Oleh : Edy Mulyadi

MEDIAHARAPAN.COM – Pemerintah kalap! Penyebabnya penerimaan perpajakan jeblok. Padahal, pemerintah perlu dana superjumbo untuk mengeksekusi banyak proyek
infrastruktur yang ambisius.

Buat menggenjot penerimaan pajak inilah, antara lain, pekan silam Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) menerbitkan beleid pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) pada gula tebu. Inilah yang dimaksud dengan pemerintah kalap pada pembuka tulisan ini.

Di negeri ini, yang namanya petani secara umum bisa disebut sebagai
kelompok yang paling mengenaskan hidupnya. Mereka bekerja keras,
ekstra keras. Tapi, acap kali hasil produksi petani tidak mampu mengangkat kesejahteraan. Indikatornya nilai tukar petani (NTP) terus turun. Jangankan menjadi kaya raya, untuk sekadar mencukup kebutuhan secara layak saja sudah termasuk barang langka.

Nilai tukar petani menjadi salah satu indikator kesejahteraan petani.
Ini adalah rasio indeks harga yang diterima petani dan indeks harga yang dibayar petani yang dinyatakan dalam persentase. NTP > 100, berarti petani mengalami surplus. Harga produksi naik lebih besar daripada kenaikan harga konsumsinya. Pendapatan petani naik lebih besar dari pengeluarannya. Sebaliknya, NTP < 100 berarti petani
mengalami defisit. Pendapatan petani turun, lebih kecil ketimbang
pengeluarannya.

Februari silam, Biro Pusat Statistik (BPS) merilis nilai tukar petani nasional sebesar 100,33%. Angka ini turun 0,58% ketimbang Januari yang 100,91%. Bulan berikutnya, turun lagi menjadi 99,95%. Penurunan ini mengkonfirmasi kian rendahnya daya beli petani sejak awal tahun. Sekadar mengingatkan saja, pada Januari 2017, nilai tukar petani
mencapai 100,91%.

Nah, dengan fakta bahwa kesejahteraan petani yang terus merosot, bagaimana mungkin tanpa ba-bi-bu Menkeu mengenakan PPN 10% bagi gula
tebu. Ini kan sama saja sudah jatuh tertimpa tangga dan dilindas bajaj pula.

Yang ajaib, alasan yang disorongkan pemerintah dalam menjustifikasi
pengenaan PPN tadi adalah, untuk kebaikan petani tebu. Di sisi lain
pemerintah mengakui PPN akan membuat pendapatan petani turun. Dengan dikenai PPN ke depan petani harus meningkatkan produktivitas. Artinya, petani dilecut agar lebih efisien. Aneh!

Sepertinya ada yang salah dari pola pikir Menkeu. Kalau niatnya mau
membuat petani meningkatkan efisiensi dan produktivitas, ya semestinya
justru harus memberi berbagai insentif dan bantuan. Misalnya, memberi kredit produksi dengan bunga supermurah, membantu penyediaan bibit
kualitas unggul, memberi kesempatan petani membeli pupuk dengan harga
subsidi, dan lainnya dan lainnya.

Adalah tidak masuk akal, di tengah kian merosotnya kesejahteraan
petani tebu, pemerintah justru memberi beban dengan pengenaan PPN. Lagi pula, kalau, katakanlah, PPN 10% dimkasudkan untuk memaksa petani
meningkatkan efisiensi dan produktivitas, kenapa cuma 10%? Kenapa
pajaknya tidak sekalian 50% atau bahkan 90% saja?

Sesat pikir

PPN untuk tebu adalah salah satu saja contoh dari banyak kebijakan
pemerintah yang sesat pikir. Kebijakan ini untuk kesekian kalinya membuktikan bahwa Ani adalah menteri penganut mazhab neolib sejati. Jadi tidak aneh bila dia tidak memiliki empati kepada rakyatnya. Para angtek neolib lebih ikhlas bekerja untuk menyenangkan majikan asingnya, walau untuk itu harus mencekik leher rakyatnya sendiri.

PPN untuk tebu yang kian menyengsarakan rakyat adalah potret betapa kalapnya pemerintah dalam menambal defisit APBN yang kian melebar.
Ironisnya, ini bukanlah kali yang pertama. Sebelumnya, Sri juga pernah berencana mengejar simpanan rakyat dengan saldo Rp200 juta. Setelah
mendapat reaksi dan protes keras dari banyak pihak, angkanya dinaikkan
jadi Rp1 miliar.

Sebetulnya, sikap panik ini adalah buntut dari kegagalan Ani, begitu dia biasa disapa, dalam mengemban tugasnya selaku Bendahara Negara.
Apalagi, kurang dari sebulan setelah didapuk jadi Menkeu, dia sesumbar bakal menarik dana orang kaya Indonesia yang disimpan di luar negeri. Konon, duit yang diparkir di Singapura saja jumlahnya tidak kurang dari Rp4.000 triliun.

Optimisme berbau jumawa itu lahir dengan asumsi program tax amnesty
bakal mendulang sukses. Sayangnya di tataran eksekusi program pengampunan pajak bisa disebut gagal total. Program Kemenkeu yang berpayung hukum UU No 11/2016 tentang Pengampunan Pajak ini ternyata gagal mengemban sejumlah tugas yang diamanatkan. Antara lain, aset repatriasi yang diperoleh dari program tax amnesty nyatanya tidak berpengaruh secara signifikan terhadap likuiditas, nilai tukar, suku bunga, dan investasi.

Gagal lainnya, dari sisi objek pajak, tax amnesty cuma berhasil menjaring 50.385 wajib pajak baru alias 0,15%dari wajib pajak potensial 2016. Program ini pun bisa disebut sepi peminat. Pasalnya, sampai batas waktu berakhir hanya 995.983 wajib pajak yang ikut. Angka
ini hanya 2,95% total wajib pajak yang terdaftar pada 2016.

Pengampunan pajak pun hanya bisa menggaet penerimaan sebesar Rp107 triliun. Padahal, sejak awal pemerintah sesumbar bakal menangguk
penerimaan Rp165 triliun. Artinya, Ani dan jajarannya mentok di angka 64,8%. Satu lagi, ini kegagalan yang terburuk, dari Rp1.000 triliun dana repatriasi yang ditargetkan, realaisasinya cuma Rp144,78 triliun atawa hanya 14,4%.

Sesumbar Jumawa

‘Untungnya’ Ani hanya menargetkan dana repatriasi sebesar Rp1.000 triliun. Jumlah ini tentu saja jauh dibawah perkiraan fulus orang kaya Indonesia yang disimpan di Singapura yang Rp4.000. Membandingkan dua
angka ini plus realisasi dana repatriasi, terasa betul bahwa sesumbar
bahwa tugas dia adalah membawa pulang duit RI yang ada di luar negeri
terbukti hanyalah ilusi dan halusinasi seorang neolib yang kelewat sombong.

Sesumbar, apalagi yang kelewat jumawa, adalah satu hal. Sedangkan realiasi adalah hal lainnya lagi. Performa tax amnesty yang jauh di bawah target nilah yang menyebabkan Sri panik. Apalagi data Kemenkeu menunjukkan realisasi penerimaan perpajakan secara umum terjun terus.

Pada 2016, penerimaan pajak nonmigas hanya Rp997,9 triliun. Artinya, turun dibandingkan dengan realisasi penerimaan 2015 yang Rp1.061
triliun. Angka kekurangan makin mengerikan jika merujuk pada target
yang dipatok, yaitu yang sebesar Rp1.355 triliun. Ini berarti dia
hanya mampu meraih 81,5% dari target.

Di benak para penganut garis neolib, rumus generik untuk menghadapi
masalah anggaran memang hanya berputar pada tiga hal. Yaitu, pemangkasan budget, memalak rakyat lewat pajak, menambah utang. Masih ada cara keempat, dan kalau memungkinkan, yaitu menjual BUMN.

Memangkas anggaran dan menggenjot pajak memang akan menghasilkan fulus. Sayangnya, duit rakyat yang terkumpul tadi diprioritaskan untuk membayar utang. Dari sini mereka berharap bakal menuai pujian dan, tentu saja, lebih mudah membuat utang baru.

Ini adalah langkah malas dan jauh dari kreatif. Padahal, semestinya mereka membenahi ekonomi lewat serangkaian growth strategy. Tulisan
ini tidak berniat menggurui kebijakan apa saja untuk mendongkrak laju
pertumbuhan yang berbuah membaiknya kesejahteraan rakyat. Alasannya, sebagai para penyandang gelar doktor ekonomi, mustahil para menteri itu tidak paham.  Jadi, untuk apa mengajari ikan berenang?

Lagi pula, kan yang jadi pejabat publiknya mereka. Sudah semestinya mereka yang bekerja keras dan ekstra keras untuk mencari jalan keluar yang tepat dan cepat. Sementara rakyat sudah terlampau sibuk dengan
akrobat untuk memenuhi kebutuhan hidup yang makin melangit.

Di atas semua itu, alasan utama karena para pejuang neolib itu tidak akan pernah mau menerapkan stragegi dan kebijakan ekonomi yang tidak ada dalam school of thinking mereka. Apa pun konsep dan resep yang disodorkan, kalau tidak masuk dalam garis neolib, silakan mencari tempat di tong sampah. Perkara rakyat bakal semakin menderita, itu
urusan lain. Kata anak muda sekarang, DL alias derita loe… (***)

Jakarta, 10 Juli 2017

Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy
Studies (CEDeS)

Comments

comments

Previous Post

​Gratis  2.500 Liter Solar, Usaha Makin Lancar

Next Post

Red Teror.! 

Media Harapan

Next Post

Red Teror.! 

BERITA POPULER

Pajak Tebu, Potret Kalap Kaum Neolib

10 July 2017 19:02
10 Alat Bantu Fotografi yang Wajib Diketahui Pemula

10 Alat Bantu Fotografi yang Wajib Diketahui Pemula

28 August 2023 14:39
Pesawat Garuda Indonesia Jakarta-Jeddah Mendarat Darurat di Kolombo

Pesawat Garuda Indonesia Jakarta-Jeddah Mendarat Darurat di Kolombo

3 April 2019 23:32
Judi Offline

Judi Offline

6 November 2023 23:19
Ragam Kesenian Tradisional Yogyakarta

Ragam Kesenian Tradisional Yogyakarta

4 October 2022 09:04
Orang Sholeh Yang Diam Menyaksikan Kemungkaran Maka Ia Terlaknat

Orang Sholeh Yang Diam Menyaksikan Kemungkaran Maka Ia Terlaknat

29 April 2019 08:25

BERITA TERBARU

Perkemahan Remaja Muslimah 2025: Bentuk Generasi Tangguh, Sehat, dan Visioner

Perkemahan Remaja Muslimah 2025: Bentuk Generasi Tangguh, Sehat, dan Visioner

14 October 2025 18:51
STQH Nasional 2025 Hadirkan Pameran Kaligrafi dari 50 Negara

STQH Nasional 2025 Hadirkan Pameran Kaligrafi dari 50 Negara

13 October 2025 11:04
Akarsana Digital PR dan Fortitude Security Singapura Teken MoU Kolaborasi Strategis Lintas Negara

Akarsana Digital PR dan Fortitude Security Singapura Teken MoU Kolaborasi Strategis Lintas Negara

13 October 2025 10:15
Bersiap Ikut Event Internasional Perkumpulan Olahraga Unta Indonesia Bertemu Komite Olimpiade Indonesia

Bersiap Ikut Event Internasional Perkumpulan Olahraga Unta Indonesia Bertemu Komite Olimpiade Indonesia

11 October 2025 09:42

Follow Us

Media Harapan merupakan web portal berita berbasiskan citizen jurnalism yang menyajikan berbagai peristiwa yang terjadi baik dalam maupun luar negeri. Semua materi dalam situs mediaharapan.com boleh di copy guna keperluan pengembangan pengetahuan dan wawasan masyarakat khususnya peningkatan inteligensi pemuda-pemudi Indonesia dan referensi non komersil dengan mencantumkan mediaharapan.com sebagai sumbernya. Semua masyarakat khususnya pemuda-pemudi Indonesia dapat berpartisipasi sebagai citizen jurnalism dengan mengirimkan rilis, informasi, berita, artikel, opini atau foto untuk dipublikasikan melalui alamat email Redaksi.

Recent News

Perkemahan Remaja Muslimah 2025: Bentuk Generasi Tangguh, Sehat, dan Visioner

Perkemahan Remaja Muslimah 2025: Bentuk Generasi Tangguh, Sehat, dan Visioner

14 October 2025 18:51
STQH Nasional 2025 Hadirkan Pameran Kaligrafi dari 50 Negara

STQH Nasional 2025 Hadirkan Pameran Kaligrafi dari 50 Negara

13 October 2025 11:04
  • Redaksi
  • Kode Etik

© 2019 mediaharapan.com - By Wahana Muda Indonesia

No Result
View All Result
  • Home
  • Nasional
    • Hukum & Kriminal
    • Daerah
    • Politik
    • Peristiwa
  • Ekonomi
    • Bisnis
    • Keuangan
    • Macro
    • Pojok UKM
  • Internasional
  • Tekno
    • Teknologi
    • Telekomunikasi
  • Olahraga
    • Arena
    • Hobi
  • Khazanah
    • Opini
    • Profil
  • Sosial
    • CSR
    • Komunitas
  • Video

© 2019 mediaharapan.com - By Wahana Muda Indonesia