Oleh: Abd. Manan Latuconsina, S.Ag, MH, Ketua Dewan Dakwah Islam Indonesia Maluku
Fenomena zaman ini semakin terang benderang: banyak orang yang tampak religius, rajin beribadah, fasih mengutip ayat, bahkan berpenampilan sangat agamis. Namun ironisnya, perilaku dan lisannya jauh dari akhlak yang seharusnya lahir dari ajaran agama itu sendiri. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Jawabannya sederhana: agama lebih sering dijadikan identitas sosial daripada jalan hidup. Banyak orang ingin dilihat suci, dihormati karena label agamanya, tetapi tidak sungguh-sungguh membersihkan hati. Mereka rajin menjalankan ritual menyembah Tuhan, tetapi sesungguhnya masih menyembah ego, gengsi, dan amarah.
Ada juga yang berilmu agama tanpa jiwa. Ayat dan hukum mereka kuasai, tetapi makna terdalam—kasih, sabar, jujur, rendah hati—tidak pernah meresap ke batin. Ilmu mereka berhenti di lisan, bukan menembus hati. Akibatnya, agama dipakai sebagai alat menghakimi, bukan untuk memperbaiki diri. Mereka merasa paling benar, lalu menyakiti orang lain dengan kata-kata tajam. Itu bukan kesalehan, melainkan ego yang bersembunyi di balik dalil.
Takut meninggalkan shalat, puasa, atau misa—tetapi tidak takut menyakiti hati sesama. Padahal, dosa kepada Tuhan bisa selesai dengan taubat. Tetapi dosa sosial, luka yang ditinggalkan pada sesama manusia, tidak akan dihapus sebelum ada kerelaan dari orang yang tersakiti.
Inilah sumber bahaya: mengira yang penting adalah ritual ibadah, sementara dosa menyakiti sesama dianggap sepele. Lupa bahwa tumpukan “dosa kecil” bisa berubah menjadi bukit besar. Lupa bahwa Tuhan tidak ikut campur dalam urusan dosa antarmanusia sebelum ada keadilan dan maaf.
Maka tak heran, beda pendapat sedikit langsung dicap sesat. Beda tafsir langsung dikafirkan. Seakan-akan yang lain hina, dan yang benar hanya dirinya serta kelompoknya. Pertanyaan besar pun muncul: yang disembah itu Tuhan, atau agama? Atau jangan-jangan, hanya ego yang dibungkus dalil?
Agama lalu menjadi topeng. Mulut fasih menyebut nama Tuhan, tetapi lisannya bisa melukai hati orang lain. Rajin beribadah, tapi gemar menindas. Hafal kitab suci, tetapi kosong dari kasih. Setiap hari masuk rumah ibadah, tetapi keluar darinya dengan amarah. Seperti orang datang ke istana raja, tetapi tak peduli pada titah sang raja.
Padahal dalam spiritualitas sejati, mengenal Tuhan bukan soal melihat-Nya sebagai sosok di langit, melainkan mengalami kehadiran-Nya dalam hati, dalam cinta, dalam alam, dalam keheningan batin. Tuhan adalah kesadaran murni, energi ilahi yang meresapi segala. Semakin seseorang sadar, semakin dekatlah ia dengan Tuhan.
Orang Jawa menyebutnya “sangkan paraning dumadi”—dari mana kita berasal, dan ke mana kita akan kembali. Tuhan bisa hadir sebagai “rasa sejati”: damai, hangat, membungkus jiwa. Itulah suara Tuhan yang sebenarnya—bukan teriakan keras di rumah ibadah, melainkan bisikan lembut di hati yang tulus.
Maka, beragama tanpa menghadirkan Tuhan hanya akan menjadi langkah tanpa arah. Ritual hanyalah tubuh, tetapi jiwa ibadah adalah akhlak. Yang Tuhan kehendaki bukanlah pamer kesalehan, melainkan hati yang bersih, mulut yang jujur, dan laku yang penuh kasih.