Oleh: Abd. Manan Latuconsina, S.Ag, MH.
Agama adalah jalan, bukan tujuan. Ia seperti peta yang menuntun manusia menuju lautan kasih Tuhan. Namun, betapa sering manusia berhenti pada peta itu, mengagung-agungkannya, bahkan berkelahi karena garis-garis di atasnya—lupa bahwa yang dituju adalah samudera luas yang sama.
Penyembah agama terjebak pada simbol, aturan, dan identitas. Mereka sibuk membela bentuk luar, merasa benar hanya karena berpegang pada ritual tanpa ruh.
Dalam hatinya, agama menjadi bendera, bukan cermin untuk melihat wajah Tuhan. Mereka mencintai kerangka, tetapi lupa ruh yang menghidupkan.
Sementara penyembah Tuhan melihat agama sebagai jembatan, bukan benteng. Mereka tidak berhenti pada kulit, tetapi menyelam ke inti. Dalam doa-doa mereka, yang paling penting bukanlah suara lantang atau hafalan panjang, melainkan kerendahan hati di hadapan Sang Pencipta.
Mereka mengerti, Tuhan tidak bersemayam dalam sekat-sekat identitas, tetapi dalam cinta, kejujuran, dan kasih sayang yang mereka tebarkan pada sesama.
Penyembah agama sering kali sibuk menghakimi, sementara penyembah Tuhan sibuk merangkul. Yang pertama mencari musuh untuk dilawan, yang kedua mencari saudara untuk dipeluk.
Yang pertama haus pengakuan manusia, yang kedua haus ridha Allah.
Sesungguhnya agama hanyalah lentera, sementara cahaya sejatinya adalah Tuhan. Lentera bisa berbeda warna, berbeda bentuk, bahkan berbeda bahan, tetapi api yang menyala di dalamnya tetap berasal dari sumber yang sama.
Maka, bahagialah mereka yang melampaui penyembahan terhadap agama dan sampai kepada penyembahan sejati: tunduk, pasrah, dan cinta kepada Tuhan.
Karena kelak, ketika manusia kembali ke tanah, Tuhan tidak akan bertanya dengan bendera apa engkau hidup, melainkan dengan cinta apa engkau menebar kebaikan.
Penulis adakah Ketua Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) Maluku












