Imam Shamsi Ali*
Sesungguhnya defenisi puasa Itu secara Fiqh sangat sederhana. Menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami isteri serta semua yang dapat membatalkannya dari terbitnya fajar kedua hingga terbenam matahari karena Allah SWT.
Dari defenisi dapat dipahami bahwa substansi puasa adalah menahan. Kata menahan inilah yang menjadi inti dari puasa. Bahkan menahan diri dari barbicara juga diistilahkan “schiuma” dalam Al-Quran, seperti pada kasus Maryam binti Imran yang dilarang bicara setelah melahirkan (Isa AS).
Rasulullah SAW juga menasehatkan agar di saat seseorang diajak berkelahi hendaknya berkata: saya berpuasa (inni shoo-im). Tentu kata “shoo-im” atau puasa di sini dimaksudkan “menahan” diri.
Dengan demikian jelas bahwa intisari dari puasa adalah menahan. Yaitu menahan diri atau ego dan hawa nafsu dari melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT dan RasulNya. Dan karenanya objek terpenting dari semua pembahasan tentang puasa ada pada pengendalian hawa nafsu.
Hawa berarti keinginan (desire). Sedangkan nafsu berarti diri (ego). Dengan demikian puasa dalam arti menahan berarti menahan diri dari dorongan hawa nafsu (ego). Di sinilah kita ketemukan urgensi puasa. Karena betapa banyak destruksi yang terjadi dalam hidup manusia disebabkan oleh kegagalan manusia itu sendiri dalam mengendalikan hawa nafsunya.
Hawa nafsu bukan untuk dipandang musuh, apalagi dihancurkan. Karena tanpa hawa nafsu dunia ini tidak ada (exist). Bahkan dunia itu alaminya adalah hawa nafsu. Hanya dengan hawa nafsu eksistensi manusia terpelihara. Karenanya Islam sebagai agama yang secara alami sejalan dengan hidup manusia tidak mematikan dorongan atau keinginan (nafsu) manusia kepada lawan jenisnya. Islam sekedar mengarahkan dan mengaturnya.
Hingar bingar pembangunan kota-kota dunia, gedung-gedung pencakar langit di kota New York, bukan untuk disalahkan. Itu bagian dari eksistensi nafsu yang memang secara alami dijadikan bagian dari hidup manusia.
Majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang transportasi dan telekomunikasi saat ini juga merupakan konsekswensi langsung dari eksistensi nafsu. Bahkan kemajuan peradaban material manusia itu semuanya bagian dari eksistensi nafsu manusia yang tidak harus disalahkan.
Pembangunan dan kemajuan material dunia kita, sekali lagi, bukan untuk disesali atau disalahkan, apalagi dipandang musuh. Justeru dalam pandangan Islam itu justeru bisa menjadi bagian dari kebaikan (hasanah) kehidupan itu sendiri.
Celakanya memang ketika dorongan (hawa) nafsu (ego) manusia itu kemudian lepas kendali. Nafsu menjadi penentu hidup bahkan menjadi tujuan tertinggi (ultimate goal) kehidupan. Manusia hidup seolah tidak ada lagi yang penting dalam hidupnya selain materi (maaddah).
Jika ini terjadi maka materi tidak lagi sebagai objek hidup tapi berubah menjadi tuan atau master. Di sinilah kerap dunia atau nafsu berubah menjadi “tuhan kecil” dalam hidup. Hal yang diingatkan oleh Al-Quran: “Tidakkah anda melihat siapa yang menjadikan hawa (nafsunya) sebagai tuhan?”.
Ini pulalah penyakit Kronis terbesar dunia saat ini. Penyembahan materi yang lebih dikenal dengan “materialisme” telah membawa berbagai malapetaka kehidupan. Ketamakan manusia menjadikannya buta nurani untuk melihat nilai-nilai kebajikan dan kasih sayang lagi.
Ambil contoh kekerasan dan peperangan-peperangan yang terjadi sepanjang masa. Ribuan bahkan jutaan manusia telah menjadi korban karena kecenderungan nafsu manusia yang diperbudak oleh materi ini.
Dari sekian banyak marabahaya materialisme, mungkin penyakit “al-khauf wal-hazn” (ketakutan dan kesedihan) adalah bahaya yang paling mengancam kehidupan manusia.
Saat ini bukan karena manusia lebih miskin dari masa-masa lalu. Saat ini bukan berarti uang itu lebih kecil dari masa lalu. Atau fasilitas dunia lebih kurang dari masa lalu. Yang ada adalah di tengah kemajuan dan kekayaan itu manusia justeru tidak pernah merasa cukup. Inilah yang menumbuhkan rasa takut dan sedih yang menjadikannya akan menghalalkan segala cara untuk memenuhi hawa nafsunya yang tidak pernah bisa di penuhi.
Ketidak mampuan untuk merasakan kepuasan atau “al-ghina” (perasaan cukup atau kaya) ini boleh jadi telah menjadi bagian dari “thoommah shugra” (kehancuran kecil) dalam hidup manusia. Hilangnya kepuasan manusia telah menjadi jahannam kehidupan yang nyata.
Semakin kaya semakin merasa miskin. Semakin kuat semakin ketakutan. Semakin mudah peralatan kecantikan perceraian semakin menjadi-jadi. Semakin popular semakin kesepian. Dan semakin terdidik semakin bodoh. Itulah antara lain paradoks kehidupan yang diakibatkan oleh hilangnya kendali hawa nafsu.
Maka puasa adalah karunia dan berkah besar dari Allah untuk hamba-hambaNya untuk membangun kemampuan mengendalikan hawa nafsu. Puasa bukan mematikan hawa nafsu. Tapi melatih hati (nurani) untuk mengambil alih kendali kehidupan. Dan bukan dikendalikan oleh hawa nafsu.
Dengan puasa kita belajar menjadi tuan bagi hawa nafsu kita. Bukan menjadi hamba sahaya bagi hawa nafsu. Semoga!
New York, 2 Ramadan 1439 H.
*Penulis adalah Presiden Nusantara Foundation