MEDIAHARAPAN.COM, Jakarta – Sidang ke-8 kasus penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahya Purnama alias Ahok selasa 31 Januari 2017 kemarin menyisakan sejumlah pertanyaan dikhalayak, diantaranya seputar kepemilikan data telefon yang dimiliki oleh Ahok dan Tim kuasa hukumnya.
Dalam persidangan yang berlangsung di Auditorium Gedung Kemneterian Pertanian, Jakarta Selatan kemarin, pengacara terdakwa Basuki T. Purnama mengungkapkan bahwa mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menelepon Ketua Umum KH Ma’ruf Amin pada pukul 10.16 WIB, Kamis, 6 Oktober 2016.
Dalam pembicaraan itu, SBY meminta Kiai Ma’ruf agar bisa mengatur pertemuan dengan Agus Yudhoyono di kantor PBNU juga meminta agar Rais Am PBNU itu membuat sikap dan pendapat keagamaan yang menyatakan Ahok menghina Alquran dan ulama.
Pakar hukum pidana Prof. Romli Atmasasmita melalui akun Twiternya mempertanyakan dari mana pengacara Ahok tahu SBY menelepon Kiai Maruf, karena menurutnya penyadapan hanya boleh dilakukan oleh penyidik.
“Putusan MK tentang sadapan sdh jelas hrs oleh penyidik yg berwenang,” tegasnya lewat akun Twitter @rajasundawiwaha Selasa (31/1/2017) malam.
Menurutnya, seharusnya Jaksa Penuntut Umum mempertanyakan dari mana penasihat hukum Ahok mendapatkan data tersebut, karena illegal wiretapling (penyadapan secara ilegal) bisa diancam pidana.
“Mustinya jaksa PU ks Ahok pertanyakan asal usul informasi tsb melaporkan ke bareskrim pelanggaran hukum tsb,” ungkap Guru Besar Universitas Padjadjaran ini.
Ketua Dewan Penasihat Lembaga Bantuan Hukum PB NU, Moh Mahfud MD menegaskan percakapan telepon tidak bisa didapat dari sembarang orang karena harus dari lembaga penegak hukum.
”Ahok dan timnya misalnya boleh bicara dapat data antara KH Ma’ruf dan SBY. Sebelum ngomong substansi isi pembicaraan, saya pertanyakan di mana data itu didapat. Ingat bila data itu tentang percakapan telepon itu tidak bisa didapat dari sembarang orang karena harus dari lembaga penegak hukum. Sebab, kalau begitu data percakapan itu hasil ‘pencurian’ dan ini jelas-jelas perbuatan melanggar hukum,” Katanya seperti dilansir Republika, Rabu (1/2/2017).
Selain itu, tudingan bahwa percakapan di telepon itu menandakan bahwa KH Ma’ruf menjadi pendukung calon gubernur tertentu, juga punya persoalan hukum. Sebab, siapa pun orangnya –termasuk KH Ma’ruf Amin– bebas bertemu dengan siapa pun. Dan kebebasan ini dijamin dalam hukum dan konstitusi negara.
Tersangka Ahok dalam pernyataan dipersidangan mengancam Kiai Ma’ruf dengan memperkarakannya ke ranah hukum karena diangap berbohong dan tidak sesuai dengan data komunikasi yang dimilikinya.
“Saya berterima kasih, saudara saksi ngotot di depan hakim bahwa saksi tidak berbohong. Kami akan proses secara hukum saksi untuk membuktikan kami memiliki data yang sangat lengkap,” kata Ahok.
Sekjen PPP Arsul Sani menyayangkan sikap Ahok dan tim pembelanya terhadap KH Ma’ruf Amin dengan menuding memberi kesaksian palsu dan mengancam memproses secara hukum melukai umat Islam dan NU.
”Apalagi ancaman itu ditujukan terhadap seorang ulama senior yang juga merupakan pimpinan tertinggi (Rais Aam) Nahdlatul Ulama, organisasi Islam terbesar di tanah air kita dengan jumlah anggota lebih dari 40 juta orang,” kata Arsul saat dihubungi, Rabu (1/2).
Juru bicara cagub-cawagub Agus-Sylvi, Rachland Nashidik mengecam pernyataan dan diplomasi sidang yang dilakukan Ahok beserta kuasa hukumnya karena mempolitisasi persidangan.
“Kami menilai perbuatan jorok tersebut adalah pembunuhan karakter yang bermotif kampanye politik dan bersifat oportunistik karena memanfaatkan dan menyalahgunakan imparsialitas pengadilan,” ujar Rachland dalam keterangan pers, Selasa (31/1/2017).
Editor: Handriansyah